REFLEKSI PASKAH 20 APRIL 2025
oleh Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman
Kisah tugas gembala ini, saya sudah bagikan kepada para pembaca yang mulia pada 19 April dengan judul: “Tugas Gembala Menjadi Sahabat Umat Tertindas: DARI KODIM 1702 WAMENA, DI MULIA INN PUNCAK JAYA DAN RUMAH SAKIT BHAYANGKARA JAYAPURA, PAPUA BARAT”.
Tetapi, saya membagikan kembali kepada para pembaca dengan tujuan untuk sadarkan para pemimpin gereja, pendeta, pastor dan gembala bahwa inilah tugas sesungguhnya mereka.
Alm. Pdt. F.J.S. Rumainium pernah berkata:
“Kita sebagai gereja harus berada di samping orang-orang tersingkir, kalau tidak, pekerjaan kita sia-sia!”
Pernyataan iman Ketua Sinode GKI yang pertama ini disampaikan kepada mitra kerja misionaris asing pendeta Dr. Sigfried Zoelner yang ditugaskan di Pos Penginjilan Anggruk. Pesan iman dan moral dari bapak saksi kudus dan orang-orang beriman ini dapat diabadikan dalam buku “Bersatu Dalam Tuhan-GKI-TP 60 Tahun 1956-2016, hal. 79).
Gereja mempunyai otoritas Ilahi, kuasa Ilahi, dan berkat Ilahi yang menjadi dasar dan pedoman yang dipegang oleh para pendeta dan gembala.
“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas…” (Lukas 4:18-19).
Berdasarkan kuasa dan mandat Roh Tuhan, para Gembala menentang dan melawan pemerintah yang berwatak pencuri dan perampok dan pembunuh.
Yesus berkata: “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yohanes 10:10).
Para pemimpin Gereja, pendeta dan gembala yang benar berdiri dan rela berkorban dan mati untuk rakyat yang dianiaya selalu melangkah dan melayani tanpa lelah dengan kasih yang tulus, murni dan kerendahan hati.
“Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya; sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu.” (Yohanes 10:11-12).
Para pemimpin gereja, pendeta dan gembala memegang teguh pada tugas yang diberikan oleh Yesus Kristus untuk menggembalakan, menjaga, memelihara dan melindungi umat Tuhan dari para penjahat, pencuri, pembunuh dan perampok.
Tuhan Yesus memberikan kuasa dan mandat kepada pemimpin gereja dan gembala. “Gembalakanlah domba-domba-Ku”. (Yohanes 21:15-19).
Kisah ini, saya mau bagikan kepada para pembaca yang mulia yang ikut prihatin, memikirkan, menggumuli dan berjuang untuk keadilan, kesamaan derajat, martabat manusia untuk perdamaian permanen di Papua Barat, Indonesia dan di seluruh planet ini.
Saya Berdebat Dengan Dandim 1702 Wamena
Pada 5 Novemver 2003 Kampung Yekeka, Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya, Papua, jadi saksi bisu kebiadaban, kekejian, kekejaman militer kolonial modern Indonesia terhadap warga sipil. Yustinus Murip dengan delapan saudaranya dibantai seperti hewan buruan dari tentara kolonial Indonesia dibawah pimpinan Dandim Wamena Letkol Gustav Agus Irianto (kini: Kabinda Papua dengan pangkat Mayjen TNI).
Besok paginya pada 6 November 2023 foto mereka dipajang seperti hewan di media Cenderawasih Pos halaman utama. Saya benar-benar marah besar. Dalam pernyataan media, saya katakan tindakan aparat keamanan itu perilaku biadab yang sangat tidak manusiawi.
Saya langsung berangkat ke Wamena untuk bertemu dengan Dandim 1702 Wamena. Saya tumpahkan kemarahan saya di ruang kerjanya.
“Mengapa saudara membunuh warga sipil, masyarakat saya?”
Dia jawab: “Karena mereka mencuri senjata”.
Saya tidak terima jawaban itu.
“Saudara, apakah senjata yang lebih penting atau nyawa manusia? Saudara lakukan kesalahan fatal karena membunuh umat Tuhan. Saudara bunuh saudara-saudara saya. Saudara bunuh warga gereja. Di sini tidak ada OPM. Di sini tidak ada seperatis. Yang ada di sini adalah orang-orang pemilik negeri dan tanah ini”.
Pertemuan itu diliput oleh wartawan Cendewasih Pos bernama Herni. Ia adalah teman saya di SMP Negeri 2 Wamena yang pernah pukul pukul guru matematika kami di kelas yang bernama Yan Yeimo.
Herni tanya apakah saya mau meminta maaf atas pernyataan saya di media massa dan barusan kepada Dandim 1702 tentang kata “biadab?”
Saya bilang, “Maaf, tindakan pembunuhan itu tetap perilaku biadab karena sangat keji dan tidak manusiawi dan melukai hati saya”.
Saya Berdebat Dengan Bupati dan Komandan Kopassus di Puncak Jaya
Pada bulan Agustus 2004, saya membaca berita di media Cenderawasih di Jayapura yang diberitakan secara “liar” dan “fulgar” tentang penembakan Pendeta Elisa Tabuni.
Cenderawasih Pos dengan “bombasdis” mempublikasi Goliat Tabuni anggota OPM menembak mati Pendeta Elisa Tabuni. Peristiwa penembakan itu terjadi pada 16 Agustus 2004 di Tingginambut, Puncak Jaya. Fakta membuktikan bahwa yang menewaskan Pendeta Eliasa Tabuni adalah anggota Kopassus.
Pembentukan opini miring, liar dan fulgar dilakukan oleh media Cenderawasih Pos secara membabibuta selama empat bulan dari Agustus hingga Oktoter 2004. Pendapat atau opini sudah tercipta, terbentuk dan terpola dalam otak semua orang bahwa yang menembak mati Pendeta Elisa Tabuni adalah anggota OPM pimpinan Goliat Tabuni.
Membaca berita itu, saya sangat terganggu hati nurani saya. Saya langung berangkat ke Mulia, Puncak Jaya.
Pada 20 Oktober 2004, saya pergi ke Mission Aviation Fellowship (MAF) minta pesawat ke Mulia. Pak Naftali Baycole yang mengatur jadwal pernerbangan MAF sampaikan belum ada pesawat dari Sentani ke Mulia.
Pak Baycole sampaikan kepada saya, kalau pak Yoman ke Mulia, besok ada pesawat dari Wamena ke Mulia untuk muat bahan bakar. Kalau pak Yoman mau, kami utamakan besok pada 21 Oktober flight pertama kami antar pak Yoman ke Mulia. Tapi pak Yoman usahakan sore ini ke Wamena.
Saya dari MAF pergi ketemu pilot Trigana di lapangan terbang Sentani yang akan terbangkan pesawat ke Wamena pada jam 15.00 WIT untuk memuat beras. Pilot sampaikan kepada saya:
“Pak Socratez, maaf, kami tidak bisa bawa penumpang, pesawat ini muat beras dan dilarang untuk penumpang. Tapi, kalau pak Socratez mau duduk di atas karung berisi beras, saya ijinkan ikut”.
“Maaf Pilot, bayar berapa? Pilot jawab: “Tidak usah. Yang penting pak Yoman rasa nyaman duduk di atas karung berisi beras”.
Pada 21 Oktober 2004 sore saya ikut pesawat Trigana yang muat beras. Saya duduk di atas tumpukan beras, tapi saya menikmati perjalanan dan tiba di Wamena.
Saya sangat berhutang budi dengan Pilot yang berbudi luhur dan baik hati ini. Doa saya dan doa rakyat dan bangsa Papua Barat memberkati Pilot ini dalam keluarga dan anak cucu seumur hidup.
Pada 20 Oktober 2004, saya mendapat pesawat MAF sebanyak 9 seat Base Camp di Wamena sesuai janji Pak Naftali Baycole.
Delapan kursi kosong, saya minta delapan orang yang mau ke Mulia yang menunggu pesawat dua minggu di Wamena. Saya bilang naik pesat gratis, saya sudah bayar untuk semua kursi.
Saya tiba pada 09.00 di Mulia. Saya langsung menuju lapangan dimana masyarakat dikumpulkan. Pemerintah telah menciptakan ketegangan dan ketakutan dalam masyarakat. Aparat keamanan menciptakan daerah Mulia itu sebagai wilayah konflik. Di lapangan dimana masyarakat dikumpulkan itu, saya ditanya oleh Bupati (alm) Eliezer Renmaur tujuan apa saya datang ke Mulia. Bupati mengatur pertemuan dengan saya pukul 13.00 di Mulia Inn (hotel milik Pemda Puncak Jaya).
Sebelum pertemuan itu, saya menuju ke rumah Ketua Klasis Mulia Pendeta Dainus Kogoya untuk mendapat informasi awal dari lapangan apa yang sesunguhnya terhadi di Tingginambut pada 16 Agustus 2004. Saya mendapat informasi kunci dan valid atau terpercaya dari orang pertama.
Saya masih menggali informasi lebih dalam, ajudan Bupati dengan mobil Mulia 01 sudah ada di depan Asrama Gereja Injil di Indonesia (GIDI) di Mulia dan saya naik mobil dan ke Mulia Inn untuk pertemuan dengan Bupati, Ketua DPRD, Komandan Kopassus, tokoh gereja, tokoh masyarakat dan ruangan itu dipenuhi dengan pasuksan tentara lengkap dengan senjata.
Saya mengerti, janji pertemuan jam 13.00 siang, tapi saya dijemput jam 11.00 lebih cepat. Mereka sadar bahwa saya mempunyai waktu yang cukup untuk saya menggali informasi yang sebenarnya. Tapi, mereka terlambat, saya sudah meraih atau memperoleh fakta dari lapangan dalam waktu 5-10 menit dan waktu ini cukup dan sangat berharga.
Pertemuan dimulai dan Bupati (alm) Eliezer Renmaur bertanya pada saya.
“Dari mana pak Yoman datang? Tujuan apa pak Yoman datang ke sini?”
Saya balik bertanya:
“Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, saya sampaikan kepada Bupati, pertanyaan ini terbalik. Saya yang harus bertanya kepada Saudara-saudara orang-orang pendatang termasuk Anda Bupati. Dari mana Saudara-saudara datang? Tujuan apa Saudara-saudara datang ke sini?”
“Kalau saya adalah orang asli Mulia di sini. Saya pemilik Tanah ini. Di tempat Saudara-saudara duduk di sini tempat bermain dan mandi waktu kecil. Saya pemimpin Gereja. Saya datang karena mendengar dan mengikuti media massa tentang pembunuhan Pendeta Elisa Tabuni tewas ditembak okeh anggota OPM pimpinan Goliat Tabuni”.
“Tetapi, saya mendapat bukti kuat bahwa Pendeta Elisa Tabuni ditembak mati oleh anggota TNI dari Kesatuan Kopassus. Saya datang supaya kekerasan dan kejahatan kemanusiaan terhadap Penduduk Orang Asli ini harus dihentikan. Semua pasukan yang ada di sini harus ditarik karena hanya membuat kacau di tempat ini dan menyusahkan orang-orang saya yang hudup damai sejak turun-temurun di tanah kami”.
Giliran Danstagas BAN-II/Kopassus, Letkol Inf. Yogi Gunawan, berkata pada saya:
“Pak Socratez, yang membunuh Pendeta Elisa Tabuni adalah OPM, pasukannya Goliat Tabuni”.
Saya langsung jawab: “Pak Yogi, maaf, yang menembak mati Pendeta Elisa Tabuni adalah aparat keamanan, yaitu Kopassus, saya punya bukti kuat”.
Setelah pertemuan, Victor Tobing, Kepala Intel Kodam XVII Cenderawasih (sekarang: Desk Papua di Jakarta) dekati saya dan berkata:
“Pak Socratez, saya akan atur perjalanan Bapak ke Tingginambut untuk bertemu Goliat Tabuni”.
Saya tidak menanggapi karena saya mengerti rencana konyol ini. Saya berpikir, perjalanan saya di sini tidak perlu diatur oleh Victor Tobing. Saya bisa berjalan sendiri kapan saja karena di sini tanah leluhur saya, tanah saya, rumah saya dan kampung saya.
Setelah aparat keamanan menewaskan seorang Pendeta Elisa Tabuni, dan berhasil menciptakan sebagai wilayah konflik dan suasana tidak nyaman bagi Penduduk Orang Asli Papua di Mulia, aparat keamanan meminta uang pengamanan kepada Pemerintah Kabupaten Puncak Jaya.
Tanggal, 15 Oktober 2004, bendahara keluarkan uang Rp 760 juta;
Tanggal, 16 Oktober 2004, bendahara keluarkan uang Rp 500 juta;
Tanggal 17 Oktober 2004, bendahara keluarkan uang Rp 750 juta.
Total Rp 2 milyar 10 juta.
Hasil temuan Tim Pansus DPRP Papua tahun 2004, dana yang dikeluarkan bendahara untuk aparat keamanan mencapai Rp 3 milyar.
Pada 6 Februari 2008, saya berangkat dengan pesawat MAF dari Wamena ke Mulia, Puncak Jaya setelah mendapat informasi Omangen Wonda warga sipil mati ditembak oleh anggota TNI Batalyon 756 yang bertugas di Tingginambut, Puncak Jaya, Papua Barat.
Pada pukul 15.00 sore, saya ke rumah Ketua Klasis GIDI Wilayah Yamo di Mulia. Saya bermalam di rumahnya. Pada 7 Februari 2018 jam 07.00 pagi saya pergi ke rumah Elias Wonda Sekretaris Daerah Kabupaten Puncak Jaya. Saya tanya pada Wonda tentang kematian Omanggen Wonda pada 31 Januari 2018 di Pos 756 di Tingginambut.
Jawaban Elias Wonda kepada saya:
“Pak Ketua, saya tidak mengikuti perkembangannya dengan baik, saya memang buta informasi dengan penembakan Omanggen Wonda itu”.
Dari rumah Elias Wonda, saya langsung ke Pos 756 dan bertemu dengan 4 anggota. Saya sampaikan ingin ketemu dengan komandan pos 756. Komandan baru selesai olah raga, bajunya basah kuyup penuh keringat. Saya sampaikan ingin ketemu untuk membicarakan penembakan Omanggen Wonda di Tingginambut.
Komandan pos 756 sampaikan kepada saya:
“Bapak perlu tahu bahwa kami bertugas hanya membagi obat-obat kepada masyarakat dan kami tidak tahu tentang pembunuhan Omanggen Wonda”.
Saya sampaikan kepada komandan dan anggota 756 bahwa:
“Saya tahu, saya mempunyai bukti, Omanggen Wonda dibunuh oleh anggota TNI dari Batalyon 756. Anda dan anggota yang menembak dia mati”.
Perdebatan Saya Dengan Aparat Keamanan di Rumah Sakit Bhayangkara Jayapura
Pada 12 Juni 2002 jam 09.00 pagi di Perumahan Nasional (Perunas) 3, Waena, Papua Barat, Desus 88 menembak mati Musa Tabuni yang lebih populer dengan nama Mako Tabuni yang merupakan Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Saya ditelepon oleh Septer Menufandu bahwa Mako Tabuni tewas ditembak Densus 88 dan jenazah ada di Rumah Sakit Bhayangkara. Saya langsung ke Rumah Sakit Bhayangkara di Kotaraja. Saya langsung ke kamar jenazah, saya minta petugas polisi untuk melihat jenazah di kamar mayat. Saya diminta untuk meminta izin pada pimpinan mereka.
Saya langsung ke ruang kerja komandan piket. Septer Menafandu, Matuan, Melani, Gustaf Kawer, Nareki Kogoya mengikuti saya. Saya masuk ke ruangan komandan namun diminta menunggu di depan. Kami menunggu 30 menit tetapi tidak ada yang datang panggil kami. Kami langsung saja menuju kamar jenazah.
Septer Menufandu berinisiatif pergi beli pakaian untuk alm. Mako Tabuni karena badannya masih telanjang. Kami masuk bergiliran ke kamar jenazah Mako Tabuni. Setelah masuk, kami membuka kain putih yang menutupi jenazah. Septer dan Gustav langsung memeriksa. Mereka temukan di lambung kanan ada bekas peluru yang masih mengeluarkan darah segar walaupun sudah dijahit. Pada paha kanan ada dua kali tembakan dan paha kiri satu kali tembakan. Wajah Mako Tabuni masih segar, mimiknya serius seperti ada memancarkan senyuman salam perpisahan dengan kami.
Septer Menufandu angkat kaki Mako Tabuni dan mengukurnya untuk membelikan sepatu dengan ukuran tepat. Sebelum saya keluar dari kamar jenazah, Gustaf Kawer minta saya berdoa. Kami memberkati Mako Tabuni dengan doa dan ucapan selamat istirahat dan kami keluar dari kamar jenazah.
Sang pahlawan bangsa Papua Barat, pejuang pejalan kaki, selamat tidur panjang dalam damai dengan para leluhur dan para pemimpin yang tewas lebih dulu di tangan para serdadu penjajah Indonesia.
Setelah keluar dari kamar mayat, saya menuju ke Ruang Pertemuan Rumah Sakit Bhayangkara. Sebelumnya Septer bicara dengan saya, “Kaka Yoman, ada pertemuan, adik minta Kaka ikut pertemuan. Saya sanggupi dan saya ikut pertemuan”.
Di ruang pertemuan sudah ada alm Alex Hesegem (mantan Wakil Gubernur Papua), Paulus Waterpauw Wakapolda Papua, Alfred Papare Kapolresta Jayapura, dr. Aloysius Giay Direktur Rumah Sakit Umum Abepura, alm. Petrus Mabel Komisi Perdamaian dan Keadilan dari Gereja Injili di Indonesia (GIDI), beberapa anggota polisi atau Densus 88 lengkap dengan senjata dan keluarga alm. Mako Tabuni.
Pokok yang dipersoalkan dan perdebatan panjang ialah untuk tempat pemakaman dan siapa yang bertanggungjawab dengan jenazah ini. Pihak keluarga trauma, tidak berani dan takut bawa jenazah.
Paulus Waterpauw dengan anggota menawarkan dan tetap bertahan jenazah Mako Tabuni dikuburkan di Abepura, Waena atau Angkasa. Aparat keamanan tidak setuju jebazah dibawa ke Sentani dengan alasan wilayah kegiatan Mako Tabuni di Abepura, Waena dan Jayapura.
Pemikiran aparat keamanan sangat sempit dan kerdil, karena aktivitas dan pergerakan alm. Mako Tabuni persoalan bangsa Papua Barat dari Sorong-Merauke, bukan masalah aktivitas di Abepura, Waena, Uncen dan Jayapura. Memang, pusat pergerakan di Jayapura, tapi alm.Mako Tabuni tokoh pejuang nasional Papua Barat.
Dalam keadaan panik, trauma dan takut pihak keluarga karena tekanan kekuatan Negara, saya bersuara:
“Saya siap bawa jenazah Mako Tabuni ke Gereja Baptis Yame (Expo Waena) dan saya kuburkan di sana. Terlepas dari perbedaan pandangan politik dan ideologi, Mako adalah umat Tuhan, domba Allah. Mako adalah pahlawan nasional Papua Barat, pejuang keadilan, perdamaian, kesamaan derajat, dan hak asasi manusia. Namanya tetap tertulis dalam lembaran sejarah rakyat dan bangsa Papua Barat sebagai pahlawan nasional. Saya jamin masalah keamanan. Jenazah tetap dibawa ke Sentani, Pos 7. Tidak ada yang intervensi saya. Ini keputusan saya. Saya harap aparat keamanan tidak boleh berada ditempat pemakaman. Kami bangsa Papua Barat mau buktikan kepada Anda bahwa kami bangsa bermartabat dan terhormat mampu dan sanggup mengendalikan dan menciptakan kenyamanan, rasa damai, dan penuh kasih”.
Aparat keamanan mengusulkan jenazah alm. Mako Tabuni mau diantar malam hari. Saya marah besar kepada aparat keamanan waktu itu.
“Kamu membunuh seorang pemimpin besar. Jenazah pemimpin nasional bangsa Papua Barat tidak boleh diantar gelap-gelap pada malam hari. Alm. Mako Tabuni bukan pencuri atau penjahat. Jenazah orang hebat ini harus dibawa besok pagi jam 09.00 dengan cara yang terhormat”.
Akhirnya, pejuang dan pemimpin hebat ini diantar pada jam 10:30 siang ke Pos 7. Sentani.
Pada jam 10.00 pagi, saya menjemput anak saya, Arnold Ap Nelson Mandela Yoman di sekolahnya SD Gembala Baik Abepura dan kami berdua parkir mobil di depan jalan masuk Poltekes Padang Bulan, Abepura. Jalan Raya Abepura-Sentani sunyi-senyap, tidak ada mobil-mobil.
Raung-raung mobil dan motor yang mengantar pejuang kemanusiaan, kesetaraan, keadilan dan hak politik bangsa Papua Barat ini mulai muncul di depan kantor Korem 172 Jayapura.
Saya buka jendela mobil dan keluar dari mobil dan dalam keadaan tegap mengangkat tangan dan memberi hormat kepada jenazah yang lewat. Setelah semua pengantar lewat, saya masuk dan menuju ke rumah kami di Ita Wakhu Purom.
Anak saya, Arnold Yoman bertanya kepada saya.
“Bapak hormat siapa itu? Siapa yang mati?”
Saya jawab: ” Tadi itu bapak turun memberi hormat kepada seorang pahlawan besar rakyat dan bangsa Papua Barat. Polisi Indonesia tembak mati. Namanya Musa Mako Tabuni.”
Setelah saya antar anak saya ke rumah. Saya langsung menuju ke Pos 7, Sentani. Dalam perjalanan saya telepon Pdt. Dr. Benny Giay. Saya minta pak Benny ke Pos 7, Sentani dan saya dalam perjalanan. Saya tiba di Pos 7, Sentani dan bertemu Pdt Benny Giay dan kami berdua tiba di tempat duka.
Pada saat Pdt. Dr. Benny Giay dan saya datang, semua orang yang sedang menangis serentak berhenti dan semua orang duduk serentak dan diam. Ada seorang Kepala Suku berdiri dan sambut kami berdua dan berikan waktu kami berdua berbicara.
Pendeta Dr. Benny Giay sampaikan: “Mako Tabuni ini seorang seorang Musa. Dia jadi korban bangsa Indonesia yang jahat ini. Kalau mereka jahat, kita jangan balas dengan cara seperti mereka yang jahat selama ini terhadap kita. Kita hormat alm Musa Tabuni. Kita kuburkan alm. Mako dengan damai sebagai bangsa bermartabat”.
Pada jam 10.00 malam ponsel saya berbunyi dan muncul nomor handphone Paulus Waterpauw Wakapolda Papua.
“Selamat malam pak Pendeta Socratez. Terima kasih banyak tidak ada keributan”.
(Kisah lengkap dapat dibaca dalam buku berjudul: SUARA GEMBALA MENENTANG KEJAHATAN KEMANUSIAAN DI TANAH PAPUA, Yoman: 2012, hal 99-104).
Kalau kita lihat peristiwa tewasnya tiga warga sipil di Mulia, Puncak Jaya pada 16 Juli 2024 yang di “OPM” kan, ini bagian dari rencana jangka panjang negara untuk pemusnahan Penduduk Orang Asli Papua Barat secara sistematis, meluas, masif dan kolektif.
Tiga warga sipil yang tewas ditangan TNI, yaitu:
– Dominus Enumbi (Masyarakat sipil asal Kampung Karubate Distrik Mulia Kabupaten Puncak Jaya)
– Pemerinta Morib (Kepala Kampung Porbalo Distrik Dokome Kabupaten Puncak Jaya)
– Tonda Wanimbo (Masayarakat Sipil asal Kampung Temu Distrik Ilamburawi Kabupaten Puncak Jaya).
Motivasi apa TNI menewaskan warga sipil yang tidak bersalah ini?
Apakah aparat keamanan meminta uang kepada pemerintah daerah dengan cara-cara biadab, kejam, barbar dan tidak manusiawi dengan cara menewaskan rakyat sipil?
Apakah beberapa anggota TNI yang bertugas di Papua Barat ini anak-anak manusia atau keturunan binatang yang berani menewaskan bangsa pemilik tanah ini?
Tindakan TNI ini terkutuk. Ini bagian yang tak terpisahkan kejahatan negara yang berjalan telanjang secara sistematis untuk pemusnahan etnis Penduduk Orang Asli Papua Barat secara perlahan tapi pasti.
Bagian dari kekejaman dan kejahatan negara di Tanah Papua Barat, dan lebih khusus Kabupaten Puncak Jaya terlihat jelas ada peristiwa-peristiwa aneh yang tidak pernah dinilai secara kritis, utuh, jujur dan benar pada saat Drs. Henok Ibo menjabat Bupati Puncak Jaya periode 2012—2017.
Setiap tanggal 17 Agustus, Bupati Henock Ibo dan anggota TNI, dan Kopassus mengumumkan:
“Ada anggota TPNPB-OPM yang menyerahkan diri kembali ke pangkuan NKRI dan menyerahkan beberapa pucuk senjata”.
Rekayasa untuk mendapat uang atas nama pengamanan dan untuk pembinaan mantan TPNPB-OPM itu terjadi 17 Agustus 2012, 17 Agustus 2013, 17 Agustus 2014, 17 Agustus 2015, 17 Agustus 2017.
Masyarakat biasa dikumpulkan dan difoto dan mereka di-OPM-kan dan foto-foto mereka dipublikasi di media yang dikontrol militer sendiri.
Kejadian yang aneh-aneh seperti ini sudah terjadi berulang-ulang dan orang-orang jahat yang berwatak seperti Iblis ini memancing “ikan” di air keruh setelah airnya dikeruhkan oleh mereka sendiri yang punya kepentingan.
Setelah Dr. Yunny Wonda dan wakilnya, anak asli Mulia, Puncak Jaya dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati pada 7 Desember 2017 oleh Gubernur Papua, alm. Lukas Enembe, semua rekayasa itu hilang selama dua periode.
Tetapi, pada 2024 dimunculkan kembali dengan menembak mati warga sipil dengan stigma anggota OPM.
Kesan saya, sepertinya untuk naik pangkat dan mendapat jabatan penting serta mendapat uang dalam jajaran militer dan kepolisian harus dengan jalan menewaskan Penduduk Orang Asli Papua Barat dengan label dan stigma politik dan sosial yang negatif, yaitu seperatis dan anggota OPM.
Selamat Hari Paskah
Ita Wakhu Purom, Minggu, 20 April 2025
Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua; Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC); Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) & Anggota Baptist World Alliance (BWA)