MPR FOR PAPUA DAN EMPAT AKAR KONFLIK PAPUA
Oleh Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman
Pemerintah Indonesia dan MPR dengan tim yang dibentuk MPR For Papua tidak usah sibuk mencari data dan informasi. Data, fakta tentang akar konflik Papua sudah disediakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atau BRIN. Dalam hal ini pemerintah harus melaksanakan dua resolusi, yaitu Resolusi Pembangunan (RP) dan Resolusi Konflik (RK).
Resolusi Pembangunan
Apa yang dimaksud dengan Resolusi Pembangunan (RP)? RP ialah seluruh proses pembangunan fisik dan nonfisik yang diselenggarakan oleh Pemerintah di Tanah Papua Barat sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini.
RP dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi infrastruktur dan pengangkatan ASN, anggota TNI/Kepolisian dan lain-lain di tanah Papua.
Bukti RP dalam bentuk UU Otonomi Khusus No 21 Tahun 2001 (sebagaimana diubah dengan UU No 2 Tahun 2021), Perpres No 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) sebagaimana diubah dengan Perpres No 25 Tahun 2013, daerah otonomi baru (DOB), Papua Christian Center (PCC), Papua Youth Center yang dibangun BIN, Papua Youth Creative Hub, dan berbagai inisiatif lain terbukti tidak menyelesaikan akar masalah.
Seluruh RP ini ada dua hal paling mendasar, yaitu:
1) Semua RP ini merupakan kewajiban dan tanggungjawab Negara untuk melaksanakan Pembangunan selama, sejauh dan sepanjang Indonesia mengkleim Papua Barat wilayahnya. RP adalah alat pendudukan dan kolonialisme Indonesia atas bangsa Papua Barat.
2) Seluruh Resolusi Pembamgunan (RP) ini tidak menjawab akar konflik Papua Barat. RP pembangunan tidak dapat ideologi dan nasionalisme rakyat dan bangsa Papua Barat. Rasisme tidak bisa digadaikan dengan RP. Ketidakadilan tidak dapat digadaikan dengan RP. Pelanggaran HAM berat tidak ditukar dengan RP. Martabat kemanusiaan rakyat dan bangsa Papua Barat diukur dengan RP. Proses genocide tidak bisa ditutupi dengan RP. Marginalisasi dan dominasi migran tidak dapat ditutupi dengan Resolusi Pembangunan.
Pemerintah Indonesia berpandangan bahwa RP dapat menjawab seluruh akar konflik Papua. Di sini, terlihat kekeliruan dalam kebijakan RP di tanah Papua. Singkatnya, RP itu kewajiban dan tanggungjawab Negara dan ia tidak ada hubungan dengan penyelesaian akar konflik di Papua. Karena, pembangunan jalan, jembatan dan lain-lain itu juga berlaku di provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Cypri Jehan Paju Dale adalah seorang peneliti pada Insitute Antropologi Sosial, Universitas Bern, Swiss. Ia juga merupakan penulis buku “Paradoks Papua” (2011) dan “Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sistemik” (2013), menulis dengan tepat:
Sudah sejak lama agenda pembangunan pemerintah Indonesia di Papua mendapat kritik dan menulai perlawanan sengit. Operasi tambang, industri kayu, dan perkebunan sawit, tidak pernah sepi dari protes dan perlawanan.
Inti dari gugatan orang Papua terhadap pembangunan versi Indonesia itu terungkap dalam pertanyaan: Untuk siapa dan untuk apa sebenarnya pembangunan di Tanah Papua?
Sebuah gugatan kritis mendasar yang mengobrak-abrik kepercayaan diri dan membongkar kepentingan-kepentingan terselubung Jakarta di tanah Papua. Orang Papua tidak saja menuntut sebuah pembangunan yang partisipatif, dimana mereka dilibatkan. Tetapi mengggugat tujuan, manfaat, dan bahkan seluruh rancang bangun pembangunan itu.
Gugatan kritis seperti itu tidak dapat dienyahkan begitu saja sebagai suara dari kaum yang dilabel separatis. Substansi dari kritik itu adalah apa yang sudah lama digumuli antropolog sosial dan aktivis anti-kolonial/post-kolonial/de-kolonial di berbagai belahan bumi yaitu kolonialitas pembangunan atau penjajahan dalam dan melalui pembangunan.
Analisis tentang kolonialitas pembangunan itu mengungkap sisi gelap pembangunan yang alih-alih memenuhi janji mengentas kemiskinan dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat setempat, justru menjadi alat bagi penguasaan sumber daya alam, dengan memarjinalkan masyarakat pemilik asal dari sumber daya itu dan merusak lingkungan serta budaya mereka.
Akibatnya, alih-alih membuat keadaan lebih baik bagi kelompok sasarannya, pembangunan itu berakhir dengan dominasi, pencaplokan sumber daya, marginalisasi, subordinasi, dan kekerasan dalam berbagai bentuk.
Di Papua, seluruh program pembangunan diklaim atas nama menyejahterakan orang asli Papua. Namun, kendati saat ini Papua menjadi tempat beroperasinya tidak kurang dari 240 izin tambang, 79 izin HPH raksasa, 85 izin perkebunan sawit, Papua tetap menjadi provinsi termiskin dari tahun ke tahun.
Pembangunan infrastruktur dan industri baru serta operasi keamanan oleh pemerintahan Jokowi, kendati dibungkus dalam kehendak membuka isolasi Papua dan memakai pendekatan antropologi, secara terang-benderang bertujuan untuk memfasilitasi operasi dari berbagai korporasi milik oligarki pebisnis-politisi Indonesia Raya beserta mitra trans-nasional mereka.
Infiltrasi penduduk itu terjadi melalui proses yang difasilitasi negara seperti program transmigrasi, infiltrasi militer, dan mobilisasi aparat sipil dan keluarganya, maupun arus migran spontan warga biasa yang mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak dalam proyek-proyek pembangunan di Papua.
Infrastruktur dasar, fasilitas publik, sekolah-sekolah, dan sarana kesehatan yang dibangun dengan mengatasnamakan kesejahteraan orang Papua, justru dinikmati oleh pendatang yang jumlahnya lebih besar, selain oleh segelintir elite Papua di pemerintahan dan korporasi. Apalagi di masa Otsus, pembangunan lebih terpusat di kawasan kota yang lebih banyak pendatangnya.
Rentetan keterjajahan itu diperparah dengan kontrol militeristik atas pri-kehidupan publik di Papua. Seluruh protes orang Papua terhadap kejahatan pembangunan, manipulasi sejarah, dan dominasi demografis, ditanggapi otoritas Indonesia tidak sebagai aspirasi untuk mencari solusi, tetapi dihadapi dengan operasi kekerasan.
Singkatnya, cara pembangunan dijalankan di Papua lebih merupakan bagian dari kontrol dan penguasaan atas manusia Papua dan segenap kekayaan alam dan budaya mereka. Aspirasi mereka akan hidup yang layak dalam alam dan budaya mereka yang lestari ditanggapi bukan dengan merubah cara pembangunan dijalankan, tetapi dengan kontrol, represi, dan dominasi militeristik.
Pembangunan seperti itu tidak sepenuhnya membawa kontribusi positif seperti yang digembar-gemborkan, tetapi membawa serta ancaman dan bencana bagi penghidupan orang Papua, alam, dan budaya mereka.
Jika pemerintah Indonesia benar-benar mengerti pendekatan sosial antropologi dalam pembangunan, pastilah tahu bahwa pembangunanisme seperti itu bukanlah solusi, melainkan akan memperparah persoalan di Papua. Mereka juga semestinya tahu bahwa pembangunan seperti itu akan dengan sendirinya mengobarkan perjuangan rakyat Papua untuk melawan dan memerdekakan diri.
Resolusi Konflik
Sampai artikel ini ditulis, Indonesia belum mempunyai konsep Resolusi Konflik (RK) yang konkrit. Pemerintah Indonesia terus bersembunyi dibalik RP yang menindas, melumpuhkan, meminggirkan dan memusnahkan penduduk asli Papua.
Pembangunan itu sama seperti perban luka jahitan yang selalu diganti-ganti. Luka tetap bernanah dan membusuk, tapi perban luka terus-menerus diganti di luka yang sama tanpa luka dibersihkan nanah dan busuknya.
Artinya, di seluruh tanah Papua tidak ada pembangunan, tetapi yang ada adalah kolonialisme modern yang diterapkan dengan kultur militer dan kekerasan.
Ingat! UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001 bukan RK, tapi hanya RP. Resolusi Konflik harus dibangun kerangka, pijakan, acuan dan pedoman dengan jelas (clear).
Saya sependapat, saya mendukung dan saya merekomendasilan empat akar konflik hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) yang kini berubah menjadi BRIN sangat layak menjadi kerangka, pijakan, acuan dan pedoman untuk dibangun Resolusi Konflik di Papua.
LIPI merumuskan empat akar sejarah konflik atau akar kekerasan Negara di Papua sebagaimana yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri; dan
4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah konkrit, strategis, konstruktif, dialogis untuk mengakomodasi penyelesaian akar konflik Papua yang kronis dengan melibat pihak ketiga yang netral di tempat yang netral. Contohnya, pemerintah sudah menjadikan GAM sebagai mitra dialog di Helsinki pada 15 Agustus 2005. Pendekatan masih relevan karena persoalan konflik Papua Barat sudah berdimensi Internasional.
Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua; Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC); Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) & Anggota Baptist World Alliance (BWA).