TANGGAPAN PEMBACA BUKU PRABOWO & TANTANGAN PENYELESAIAN KONFLIK PAPUA (BAGIAN I)

TANGGAPAN PEMBACA BUKU PRABOWO & TANTANGAN PENYELESAIAN KONFLIK PAPUA (BAGIAN I)

Buku berjudul “Prabowo dan Tantangan Penyelesaian Konflik Papua” yang ditulis sang Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman mendapatkan perhatian luas dari public, tidak hanya dari Papua.

Buku setebal 176 halaman yang diterbitkan pada 2024 adalah karya Socrates Yoman terbaru. Sebelumnya Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP); Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC); Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC); dan Anggota Baptist World Alliance (BWA) telah menerbitkan puluhan buku dengan berbagai tema atau isu.

Berikut tanggapan pembaca atas buku “Prabowo dan Tantangan Penyelesaian Konflik Papua”.

“Dengan membaca buku Prabowo ini pikiran saya terbuka dan saya belajar dari seorang tokoh Kristen Papua yang pintar, saya seorang Muslim. Kekuatan buku Prabowo ini terletak pada fakta dan data serta kejujuran dalam menulis sehingga buku ini adalah jawaban terhadap masalah kita.” –Sodik–

“Syowi ma Kasumasa, Bapak Gembala Dr. Socratez Yoman, MA terimakasih banyak untuk buku-buku ini, tidak ada seorangpun di tanah Papua yang peduli dan konsisten dengan literasi dan mau membumikan budaya membaca seperti Bapak Gembala. Dengan memberikan buku secara gratis adalah sedang menabur benih di tanah yang subur, cepat atau lambat orang Papua akan sadar secara perlahan-lahan di atas tanah ini, dan menemukan kembali jati dirinya yang telah hilang oleh kepalsuan sejarah yang salah di atas tanahnya sendiri. Tuhan semesta alam pemilik tanah Papua ini, pasti mengembalikan berkat dan kehormatan dalam kehidupan Bapak Gembala. Amin. Syowi ma Kasumasa. Waa. Waa. Waa.” –Yan Luther Rawar–

“Kitong bukan hanya butuh kekuatan fisik untuk bertempur, tetapi kita juga butuh orang yang punya kemampuan menulis, mendokumentasikan berbagai peristiwa di Papua, termasuk yang punya strategi komunikasi yang baik agar soal Papua diselesaikan secara baik. Kemampuan menulis dan komunikasi dalam era digital itu sangat penting dan bagian ini dimiliki oleh pak Gembala Sokrates Yoman. Teruslah menulis untuk bangsamu”. –Roby Awak–

“Bagi saya menulis versi buku yang berbeda dalam jangka waktu pendek, atau singkat itu tidak normal bagi penilaian saya, tetapi khusus penulis Papua, Bapak Ndumma Ambirek G. Dr. Socratez Yoman, MA adalah pengecualian. Saya menilai beliau punya karunia, talenta dan kuasa khusus yang diberikan oleh Tuhan Yesus Kristus, untuk menulis, dan menyampaikan kabar sukacita lewat buku, dan saya merasakan ada kuasa dan kekuatan besar lewat karya Bapak Gembala yaitu mendidik, menyadarkan, memberikan harapan, dan solusi konkrit tentang masalah sesungguhnya yang di hadapi oleh penduduk asli orang Papua di tanahnya sendiri. Saya menilai ini adalah panggilan sakral, panggilan kotbah di bukit, panggilan salib, panggilan kubur yang kosong dan inilah teladan Yesus Kristus yang diemban oleh Bapak Gembala. Layak disebut MAMBRI MANSONANEM bagi tanah Papua. Waa. Waa. Kasumasa. Syowi.” –Yan Luther Rawar–

“Di saat banyak orang sibuk kejar jabatan dan uang, disaat banyak orang sibuk berteriak lantang keadilan untuk Papua tetapi kemudian suara tersebut hilang karena memiliki maksud lain. Seorang yang konsisten tidak perlu teriak-teriak cari muka untuk dirinya sebab dirinya sudah punya muka yang Tuhan kasih dan muka yang Tuhan kasih itu berdiri mewakili muka-muka yang telah menjadi tulang belulang, muka orang tua kehilangan anak, suami kehilangan istri, istri kehilangan suami, anak kehilangan orang tua. Pak Gembala berdiri tegak dengan muka tegak untuk bangsa dan tanahnya lewat tulisan yang inspiratif.” –Y.Kurni–

“Baca buku ini macam kitong malu sebagai orang Indonesia. Sebab tindakan sejarah yang salah, lalu tindak tanduk aparat negara membuat masyarakat asli Papua jadi tawar hati. Berbagai macam tragedi, peristiwa yang mereka alami. Saya pikir mereka punya hak untuk berdiri sendiri. Hanya soal kapan, hanya Allah saja yang tahu. Tapi jelas sebagai orang Indonesia merasa buku ini menganggu saya pikiran dan hati saya. Ya hanya bisa membaca dan tahu fakta sebenarnya”.–Suprapto Nurdiman–

“Sedih juga membaca fakta yang diungkapkan dalam buku ini. Kadang saya pikir apa negara kita yang salah atau aparat negara yang oleh karena kekuatan (jabatan, senjata) membuat mereka bertindak brutal seperti ini? Masyarakat kita juga kehilangan adap dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan sehingga bersikap rasis. Penulis telah menyodorkan data dan fakta sekarang kembali kepada kita saja. Saya harus jujur dari hati kecil dan atas nama kemanusiaan atau penghormatan terhadap ciptaan Allah, maka kalau solusi merdeka maka itu tepat”. –Rini Mose—

“Beta baca buku ini, beta merasa memang mereks di Jawa sana atas nama negara mereka bertindak sembarang saja. Aparat negara seng tahu aturang, bajalang tugas lah tembak orang sambarang, seng dapat OPM dong jalan hajar masyarakat sambarang. Beta rasa pendeta ini tulis akan benar kio. Beta sanang baca akang. Kalau beta ka ambon ada lai beta mau bawa buku la bagi akang di sana”.

“Seng akan salah antua tulis buku ini. Beta pu Tete Nenek moyang mereka ke Papua bawa Injil, dong bawa kabar baik, ini negara deng Tentara dong jalan sikat-sikat sambarang saja. Beta baca buku ini beta sedih, sedih karena tahu semua badiam. Kitong pu pendeta-pendeta dong seng bacarita banya soal seperti ini. Mangkale dong taku tentara tangkap kapa ee..siooo saja..tapi beta salut, antua ini tulis akang benar…seng salah. Pasti Antua Basar diatas kasih hikmat untuk menulisnya”.

“Tuhan Yesus memberkati bapak slalu dalam kehidupan sehari-hari, sangat luar biasa dengan buku yang bapak tulis ini memberi kita pemahaman agar kita sebagai generasi Papua ini bisa tahu sejarah Papua yang baik dan benar. Karna selama ini kita dibutakan oleh sejarah kita sendiri melalui bangsa lain yg menjajah kita sampai saat ini”.–Junai Manuwarun–

“Tanah Papua mesti dibangun dengan hati, ditopang dengan kesungguhan pejabat, terutama yang bermukim di pelosok kampung di tengah pelukan gunung, dan bukit. Di saat bersamaan, masyarakat setia menumbuhkan etos kerja warisan orang tua dan leluhur bahwa sebelum ia dibantu, ditolong orang atau pihak lain ia mesti menolong dirinya sendiri dalam kelompok komunal. Mengapa? Dalam uraiannya, Socratez Yoman hendak menyodorkan fakta kepada presiden bahwa hingga saat ini, tanah Papua ibarat masih ada kerikil dalam sepatu (baca akar konflik) dan terjebak dalam kubangan konflik kekerasan. Karena itu, karya sang gembala ini hadir menjadi semacam guide, panduan untuk melihat tanah Papua secara utuh lalu mencari alternatif solusi dengan otoritas kekuasaan yang ada”.–Ahmad Siraj–

“Akhirnya semakin banyak orang yang terbuka wawasannya dan mengetahui kebenaran yang selama ini selalu di tutupi dan berusaha untuk di hilangkan, semoga Tuhan selalu memberkati bapak sekeluarga Aamiin dan ini awal yang baik bagi perjuangan bapak untuk kemanusiaan dan keadilan bagi rakyat Papua serta bapak akan di kenang sepanjang masa sebagai Nelson Mandelanya orang Papua.” –Slamet Nugroho–

“Buku ini membuat saya ingat dinamika suara politik anak asli Papua di Republik ini. Mereka kadang suara vokal tapi hanya utk membuat mereka mendapat jabatan. Mereka berteriak atas nama OAP untuk pemekaran tetapi tujuan jabatan dan oap menderita. Teriak merdeka ujungnya juga jabatan. Mereka tidak menulis apapun. Banyak yang mati muda dan tidak lama ketika mereka menjabat. Kita punya orang pintar seperti tuan Yoman ini, beliau berteriak dan berjuang untuk rakyat. Saya yakin itu kalau beliau rakus pasti sudah dapat jabatan dan kemungkinan juga sudah mati. Tetapi suara jujur dan murni maka Tuhan dan alam ini masih jaga bapa gembala”.

“Buku ini ibarat tanah yang subur diatasnya disemai bibit-bibit perjuangan anak asli Papua untuk merdeka”.

“Kalau bedil melepaskan peluru maka yang kena tembak akan kehilangan nyawa. Tetapi kalau buku di” tembakan” ke seseorang maka dipastikan orang itu tetap hidup, dan buku itu energi yang menguasai hati dan pikirannya. Penulis buku Prabowo ini tdak memegang bedil dan mencabut nyawa manusia, tetapi buku ini akan memberikan pengetahuan dan akan melahirkan orang-orang yang berpikiran kritis dan mereka yang tdk sepaham akab merasa tertekan”.

“Kita malu sebagai orang Indonesia ketika membaca buku seperti ini. Mengapa malu? Sebab sejarah sudah tidak benar kemudian tindakan aparat militer, pejabat daerah yang tidak manusiawi dan juga sekelompok orang yang rasis. Sebagai non Papua saya menilai tujuan penulisan buku ini sangat luhur. Dan kepada generasi muda Papua lebih banyak belajar dari sang penulis ini. Air mata menjadi “tinta” untuk setiap huruf, dan setiap peristiwa adalah lembaran kertas yang memuat semua hal”.—Paul Wijaya—

“Ya…saya teringat cerita Opa saya yang ikut terjun ke Papua saat Papera 1969. Semangat yang berkobar dan menyala-nyala kecintaan terhadap negara dengan mengabaikan hak dasar orang asli Papua. Pengabaian itu terus terjadi sampai saat ini. Kalau mereka yang hebat di dunia akademik maupun politik lupa sejarah maka Sang Ilahi memakai hambaNya menjadi alat untuk bangsa Papua”.—Anis Sauhoka—

“Gembala Dr Sokrates Yoman MA, menurut saya adalah pribadi yang konsisten bersuara untuk Papua. Beliau konsiten dengan menguraikan data dan fakta lapangan. Walaupun bangsanya diperlakukan dengan tidak adil, tetapi dia tdk membenci orang-orang Indonesia. Tulisannya bernilai kemanusiaan sangat tinggi. Penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusian sangat besar. Beliau orang yang jujur dan lurus serta fokus.

Bagi kita yang dari luar, terasa tidak nyaman membaca buku-bukunya tetapi itulah fakta yg harus kita akui. Buku Prabowo maupun Mengapa Mereka ditolak adalah buku yang luar biasa”. —Sadrakh Ngamel–

“Buku ini benar-benar mencerminkan pola pikir penulis sebagai guru bangsa. Guru bangsa yang tidak menyimpan dendam dan amarah, guru bangsa yang melihat perbedaan dalam diri bangsanya sebagai sebuah anugerah. Guru bangsa yang berdiri diatas semua golongan. Karena itu buku ini benar-benar menjadi pupuk yang memberi kesuburan, kehidupan dan pertumbuhan yang sehat. Kalau mau bertumbuh baik dan sehat maka renungkan dan resapi buku ini”. —Petrus Umnehopa–‘

“Dalam konteks sekarang saya sebut konteks mati surinya kaum intelektual asli Papua mengenai sejarah bangsanya. Ada beberapa kelompok kesatu, adalah kaum intelektual cari aman tidak pernah berbicara soal Perjuangan Papua kalaupun ada itu standar dan biasa sj. Bahkan cenderung mendukung pemerintah. Kebanyakan ada pada para pengajar. Kedua kaum intektual kejar jabatan, ini kelompok yang bicara pintar tanp sedikitpun singung masalah papua ini ada juga dipengajar dan politikus. Ketiga adalah kelompok abu-abu tidak jelas, bicara Papua kuat tapi dikasih jabatan diam, kalau gak dapat jabatan teriak merdeka. Keempat, kelompok yang setia menyuarakan masalah Papua dengan berbagai metode, ini termasuk penulis buku ini. Penulis menulis apa yang dia lihat, apa yang dia alamai dan apa yang dia lakukan. Dia juga tidak menabur kebencian tetapi menghargai nilai kasih dan kemanusian. Ini kelebihannya”.—Joel Imbir—

Penulis: Socratez Yoman
Editor: Irvan

Tuliskan Komentar