IMAN DAN IDEOLOGI: JANGAN PAKSA KAMI MENJADI ORANG INDONESIA
Oleh: Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman
Keyakinan iman dan keyakinan ideologi adalah dua pilar utama yang dimiliki setiap manusia. Iman berhubungan dengan perkara ilahi atau kekekalan yang berpusat pada Tuhan.
Sedangkan secara etimologis, kata “ideologi” berasal dari kata Yunani idea (gagasan) dan logos (ilmu), sehingga secara harfiah berarti “ilmu tentang gagasan”.
Ideologi adalah sistem gagasan, nilai, dan kepercayaan serta pengalaman yang terorganisir dan saling terkait, yang menjadi pandangan hidup bagi seseorang atau sekelompok orang untuk memahami dunia serta mengubah atau mempertahankan kondisi masyarakat menuju cita-cita yang diinginkan.
Contoh, secara keyakinan iman, saya tidak bisa dipaksa untuk menyembah atau percaya Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi. Karena saya memiliki iman bahwa Tuhan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat bagi hidup saya.
Jadi, sama dalam konteks keyakinan ideologi, saya tidak bisa dipaksa untuk mengakui simbol-simbol bangsa kolonial modern Indonesia yang jelas-jelas bukan bangsa saya. Karena, saya mempunyai keyakinan ideologi bahwa saya mempunyai lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua, punya bendera kebangsaan Bintang Kejora, ada Parlemen New Guinea Raad, dan hari kemerdekaan 1 Desember 1961 yang dianeksasi dengan maklumat Ir. Sukarno yang dikenal Trikora.
Lebih lanjut baca buku Prabowo dan Tantangan Penyelesaian Konflik Papua, lebih khusus Bab 4 hal. 22-27 (Yoman:2024).
Kami sebuah bangsa, bukan sebuah provinsi-provinsi boneka dari bangsa kolonial modern Indonesia. Kami tidak saja sangat jauh dari letak geografis tapi kami sangat berbeda dalam banyak hal. Kami SADAR, TAHU dan MENGERTI bahwa penguasa Indonesia sedang menduduki, menjajah, menindas dan memusnahkan kami secara sistematis, terstruktur, masif, meluas, dan kolektif.
Dengan dasar pijakan dan pedoman ini, saya menulis: MENGAPA SAYA TIDAK IKUT MENYANYI LAGU INDONESIA RAYA?
Pada 7 Desember 2017 Gubernur Lukas Enembe melantik Dr. Yunny Wonda dan wakilnya sebagai bupati dan wakil kabupaten Puncak Jaya di Mulia.
Saya ikut hadir pada pelantikan itu. Saya duduk di kursi barisan kedua dari kursi para bupati. Tidak banyak bupati yang hadir, beberapa kursi depan kosong hanya terisi satu kursi yaitu bupati Tolikara Usman Wanimbo.
Pempin acara meminta kami yang hadir dimohon berdiri untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya, saya tidak ikut menyanyi, saya hanya menatap muka Lukas Enembe, Yunus Wonda dan Nesko Wonda yang duduk di depan.
Pada 20 Desember 2024 di kantor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekarang Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) diluncurkan buku saya berjudul: Prabowo dan Tantangan Penyelesaian Konflik Papua.
Di meja depan saya bersama dengan dua Profesor dan mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya dan saya tidak ikut menyanyi dan memilih diam.
Pada 3 April 2025 di hotel Swiss-Belexpress, Dewan Pengurus Daerah Partai Gerakan Indonesia Raya (DPD-Gerindra) Provinsi Papua mengadakan ibadah syukuran atas terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-8.
Saya salah satu pendukung Prabowo diundang untuk hadir oleh Ketua DPD Ibu Yanni.
Pada awalnya saya sampaikan tidak bersedia hadir. Dan saya tanya kepada Ketua DPD Gerinda, kalau saya hadir apa yang saya sampaikan atau saya hanya hadir sebagai undangan?
Ibu Yanni sampaikan:
“Pak Yoman hadir untuk sampaikan sambutan singkat, tapi tidak usah yang berat-berat. Ini kesempatkan baik pak Yoman”.
Kami beberapa tokoh yang diundang dimohon berdiri di depan bersama pengurus DPD Gerindra Provinsi Papua.
Pemimpin acara ibadah mengundang kita menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Semua pemimpin yang berdiri di depan ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya. Saya sendiri tidak ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya dan memilih diam.
Mengapa saya tidak pernah menyanyikan Lagu Indonesia Raya dan tidak pernah menghormati bendera merah putih?
Keberadaan Lagu dan bendera di Tanah Papua Barat sebagai lagu dan bendera kolonial firaun modern ini benar-benar memindas, menjajah, memarjinalkan dan terjadi proses pemusnahan penduduk orang asli Papua secara sistematis, terstruktur, masif, meluas dan kolektif.
Dalam dunia realitas yang terus bernamika ini kita tidak boleh hidup berpura-pura, munafik, dilanda ketakutan dan juga takut kepada manusia. Katakan benar itu adalah benar dan yang salah itu salah.
Ini bentuk perlawanan saya secara terhormat dan bermartabat di ruang-ruang pulbik dan resmi terhadap pendudukan dan penjajahan Indonesia atas bangsa Papua Barat.
Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua (PGBWP)