CERITA ANAK CUCU PEJUANG PEPERA: MENCERITAKAN KEBENARAN?

CERITA ANAK CUCU PEJUANG PEPERA: MENCERITAKAN KEBENARAN?

Oleh: Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman

Putra Putri Pejuang Pepera Papua (P5) akan menceritakan sejarah status politik Papua yang sebenarnya saat situasi Papera pada 2 Agustus 1969 di Jayapura. Cerita berangkat dari kebenaran yang mereka lihat dan alami melalui indera mereka. Dasarnya adalah ayat “Jika iya, hendaklah kamu katakan: ‘ya’, jika tidak hendaklah kamu katakan: ‘tidak’. Sebab apa yang lebih dari itu berasal dari si jahat (Matius 5:37).

Pada 28 Oktober 2020 di Jayapura, Ketua P5, Yanto Eluay dalam sambutan mengatakan: “Bahwa Ormas yang dipimpinnya, P5 ini, akan menjaga dan mengawal keputusan Papera tahun 1969 yang sudah sah diperjuangkan oleh 1026 para orang tua mereka untuk menggabungkan Papua kedalam NKRI. Oleh sebab itu, jangan kita menjadi anak-anak pembangkang terhadap apa yang sudah diputuskan orang tua saat Pepera dulu.”

Yanto Eluay lebih lanjut menyatakan, “…bahwa wadah ini mereka akan terus sosialisasikan kepada beberapa generasi mereka yang akan datang, dimana mereka akan menceritakan sejarah status Politik Papua yang sebenarnya saat situasi penentuan pendapat rakyat pada 2 Agustus 1969 hingga saat ini, dan tidak lagi melihat kebelakang 1 Desember 1961.”

Dalam deklrasi kelompok P5, Komadan KOREM 172/PWY Brigjen TNI Izak Pangemanan, berkotbah sebagai berikut:

“…mengapa sampai saat ini Papua masih terus terjadi konflik, menurutnya karena semua yang mereka rencanakan dan inginkan adalah pikiran manusia yang direka-reka, seperti yang terdapat didalam Firman Tuhan Kitab Mazmur2 ayat 1, makanya walaupun mereka berusaha sekuat apapun tidak akan berhasil. Terbukti hingga saat ini, walaupun PBB tetap tidak ada hasil karena PBB mengakui bahwa Papua bagian dari Indonesia dan mempunyai dasar hukum yang jelas.”

Kotbah Brigjen TNI Izak Pangemanan mengingatkan penulis tentang ancaman dari Kol. Kav Burhanuddin Siagian DANREM 172/PWY pada media Cendrawasih Pos, 12 Mei 2007. Ancaman terornya seperti yang terpublikasi pada buku Pemusnahan Etnis Melanesia (Yoman, 2007:346) berikut ini.

“Pengkhianat negara harus ditumpas. Jika saya temukan ada oknum-oknum orang yang sudah menikmati fasilitas negara, tetapi masih saja mengkhianati bangsa, maka terus terang saya akan tumpas. Tidak usah demonstrasi-demonstrasi atau kegiatan-kegiatan yang tidak berguna. Jangan lagi mengungkit-ungkit sejarah masa lalu Pepera 1969.”

Ketua P5, Yanto Eluay membuat komitmen di depan Komandan KOREM 172/PWY Brigjen TNI Izak Pangemanan dan anggota TNI, bahwa ia dan anggota P5 siap menjaga dan menceritakan status politik Papua yang sebenarnya melalui Pepera 1969.

Inisiatif TNI membentuk wadah Putra Putri Pejuang Pepera 1969 di Papua bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan Pepera 1969, mempelajari, dan menyelidiki kebenaran proses pelaksanaan dan hasilnya. Pembentukan wadah ini sama seperti di Timor Leste (dulu Timor Timur). TNI membentuk kelompok Eurico Guterres yang lebih dikenal Milisi Indonesia yang kini hidup sangat memprihatinkan karena tidak diperhatikan oleh penguasa Indonesia.

Ada kekecewaan dan protes yang disampaikan Wakil Ketua Milisi, Eurico Guterres, karena nasibnya tidak diperhatikan pemerintah Indonesia. Walaupun ia dengan TNI bahu membahu berjuang, mandi keringat dan menjadi pahlawan dengan memusuhi dan membantai bangsa atau saudaranya sendiri demi NKRI, penghargaan itu tak setimpal dengan perjuangannya. Kekecewaan itu terungkap dalam Kompas Kupang, 29 September 2017”

“Kenapa hari ini kami ada disini? Kok enak sekali Pak Wiranto, dengan saya bersama-sama kawan-kawan lain masuk dalam daftar serious crime, tapi beliau jadi menteri, kok kami jadi gembel. Jangan lupa kami, bahwa di manapun kita selalu bersama-sama dan nama kita masuk dalam daftar serious crime. Kami berjuang bukan mencari jabatan tapi kami ikhlas. Bagaimana mungkin pak Wiranto bisa jadi menteri lalu nasib orang-orang ini tidak pernah dibicarakan sama sekali. Pak Wiranto selalu mendampingi Presiden kemana-mana, tapi kami tidak bisa ke mana-mana sehingga sudah saatnya kami menyampaikan kepada pak Wiranto, supaya nasib orang-orang ini yang pernah bapak tahu, dan kenal bisa diperhatikan.”

Pengalaman Eurico Guterres ini ditulis untuk mengingatkan Yanto Eluay dan Hendrik Yance Udam bersama anggota. Kita semua tidak tahu cara Tuhan dan rencananya untuk rakyat dan bangsa Papua. Pada saat Tuhan mendengar dan melihat penderitaan, tetesan darah dan cucuran air mata umat-Nya yang terpanjang dan terlama di Tanah Papua bisa terbebaskan. Bagaimana nasib dan masa depan Yanto Eluay, Henderik Yance Udam, dan anggotanya?

Komitmen dan siap menjaga serta mengawal hasil Pepera 1969, dalam logika sehat yang biasa dijaga dan diwariskan untuk anak cucu sebagai warisan berharga, membawa kemanfaatan, dan kegunaan bagi keluarga, masyarakat luas dan bangsa.

Berbagai pendapat saksi sejarah, akademisi, politisi, dan juga pelaku sejarah mengatakan Pepera 1969 itu akar masalah kejahatan dan kekerasan penguasa Indonesia yang menyebapkan pengorbanan ratusan bahkan ribuan orang-orang asli Papua dari tangan ABRI (kini TNI). Jadi, apakah wadah P5 mempertahankan dan menjaga hasil Pepera 1969 sebagai sumber atau jantung kekerasan itu supaya pembantaian orang asli Papua terus berlanjut dengan sejarah bengkok penuh dengan darah, air mata, dan penderitaan itu?

Berhubungan dengan memelihara dan mengawal sejarah busuk dan bengkok ini, ada yang menarik untuk disimak, yaitu BAB XII Pasal 46 dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus yang telah gagal. Pada butir (1) disebutkan, Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pada butir (2) Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah: (a) Melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (b) Merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi. Pertanyaannya, mengapa pasal 46 ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi?

Penguasa pemerintah Republik Indonesia yang menduduki dan menjajah bangsa Papua benar-benar menyadari bahwa pada saat klarifikasi sejarah Papau dilakukan, maka konsekuensi logis dari aspek hukum dan politik ialah rakyat dan bangsa Papua bukan bagian dari wilayah Indonesia.

Setidaknya, ada ruang batin yang dikomunikasikan ketika ada secercah sinar untuk menghadirkan kebenaran dengan cara yang damai, seperti yang sempat diungkapkan oleh Bupati Jayapura Mathius Awoitauw, saat menghadiri Deklrasi Presidium Putra Putri Pejuang Pepera 1969. Ia memberikan pesan positif berikut:

“Saya berpesan agar sebagai orang tua nantinya kepada generasi berikutnya di Papua jangan kita mewariskan dendam dan amarah kepada sesama kita manusia. Tetapi wariskanlah cinta kasih antara sesame karena kita semua hidup di dunia hanya sementara. Untuk itu, mari kita saling mengisi agar kita disayang Tuhan ketika akan kembali kepada-Nya.”

Ungkapan Bupati Mathius tersebut merupakan ajakan yang positif dan patut diapresiasi. Karena selama ini, belum ada ajakan untuk menceritakan sejarah status politik Papua yang sebenarnya, yaitu tentang Pepera 1969.

Warisan cinta kasih antara sesame, tidak ada dendam dan kebencian, akan mengalir dengan sendiri. Kedamaian sejati akan tercipta secara permanen di hati, pikiran dan kehidupan kita semua. Semua itu mungkin terjadi jikalau kebenaran sejarah Pepera 1969 itu diajarkan dengan benar, jujur, dan adil.

Kebenaran dan keadilan adalah syarat utama cinta kasih. Tanpa kebenaran dan keadilan, cita-cita perdamaian hanya mimpi kosong. Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita semua: “…kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Yohanes 8:32).

Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP); Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC); Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC); dan Anggota Baptist World Alliance (BWA).

Tuliskan Komentar