HukumNasional

Anomali Demokrasi ke Partaikrasi, Fenomena Apa Pula Ini?

0
×

Anomali Demokrasi ke Partaikrasi, Fenomena Apa Pula Ini?

Sebarkan artikel ini

Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Jakarta – Sudah sering kita mendengar adanya keluhan dari masyarakat terhadap wakil-wakil mereka yang duduk di lembaga perwakilan (DPR maupun DPRD Provinsi-Kabupaten-Kota) yang dinilai tidak mampu menyalurkan aspirasi masyarakat yang diwakili.

Wakil rakyat dinilai tidak mampu membuat peraturan yang memihak kepada kepentingan rakyat yang diwakili, tidak mampu mengawasi jalannya pemerintahan pada hal banyak penyimpangan yang terjadi. Wakil rakyat dinilai tidak mampu memperjuangkan penyusunan anggaran yang menguntungkan rakyat untuk mengurangi beban kehidupan sehari-hari.

Kekecewaan tidak saja mengarah pada Lembaga perwakilan tetapi juga kepada pejabat eksekutif yang dinilainya tidak mampu menjalankan kewajibannya untuk menjalankan pemerintahan negara sesuai dengan amanat yang telah diberikan oleh rakyat dalam pemilu setiap lima tahun sekali. Bahkan di level yang paling tinggi sebagai seorang pemimpin negeri ada yang menyebut Presiden sebagai petugas partai yang mengesankan Presiden bekerja untuk kepentingan partai.

Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sesuai dengan amanat konstitusi juga tidak bisa berbuat banyak manakala ada pejabat (eksekutif maupun legislatif) yang melanggar sumpah atau ingkar janji. Rakyat hanya bisa gigit jari karena kedaulatan tertinggi yang mereka miliki pada kenyataannya “sudah dirampas” oleh kekuatan institusi demokrasi yang bernama partai.

Keberadaan partai politik dalam sistem demokrasi di negeri ini nampaknya sudah mampu merenggut kedaulatan rakyat yang sejatinya adalah pemilik kedaulatan tertinggi. Fenomena ini telah mengarah kepada terwujudnya negara Partaikrasi yang sesungguhnya sangat berbahaya karena akan menghambat upaya pencapaian tujuan negara sesuai dengan amanat konstitusi.

Apa itu sistem Partaikrasi yang bisa menghambat pencapaian tujuan negara sebagaimana amanat konstitusi?. Apakah dalam prakteknya partaikrasi sudah begitu melembaga di negeri ini?. Mengapa ini bisa terjadi?. Bagaimana mengupayakan agar Partaikrasi tidak semakin merajalela sehingga mengalahkan kekuatan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi?

Fenomena Partaikrasi

Seperti diketahui, Indonesia sebagai negara demokrasi yang menganut sistem multi partai, terdapat banyak partai politik yang ikut berpartisipasi dalam sistem pemilu setiap lima tahun sekali. Kondisi ini membuat peran partai politik sangat dominan sehingga bisa membahayakan kehidupan demokrasi di negeri ini.

Pada era sekarang pengaruh partai politik juga sudah sangat besar dan menyebar ke berbagai lembaga negara baik di lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif, bahkan partai politik juga telah menyentuh ranah lembaga negara seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang semestinya harus bersih dari pengaruh partai politik agar tetap terjaga aspek netralitas dan independensi.

Berbagai kebijakan yang dibuat oleh para elit politik terkadang tidak memberikan dampak yang besar terhadap rakyat akan tetapi kebijakan tersebut dibuat demi kepentingan partai politik dan kejayaan partai politik, lembaga tinggi negara pun tidak luput dari penagaruh partai politik seperti dewan perwakilan daerah yang sebelumnya bebas dan tertutup oleh partai politik kini telah banyak yang diduduki oleh kader partai.

Bukan cuma itu, para professional seperti para akademisi dan teknokrat yang ingin mendapatkan posisi di lembaga negara harus melalui restu partai. Sesungguhnya fenomena ini sangat tidak objektif dan profesional karena bisa mengarah kepada kepentingan partai politik, hal ini tentu sangat membahayakan demokrasi karena semua aspek kekuasaan didominasi oleh partai politik sehingga kebijakan yang diambil pada akhirnya bisa bertumpu kepada kepentingan partai bukan kepentingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Pada hal keberadaan partai politik dalam negara yang menganut sistem demokrasi, tidak boleh memiliki kekuasaan lebih besar dan lebih tinggi dari kedaulatan rakyat yang notabene sebagai pemilik sah kedaulatan tertingi. Lagi pula tidak ada satupun dalam prinsip-prinsip demokrasi yg menyebutkan adanya kedaulatan partai. Yang ada adalah kedaulatan rakyat (sovereignty of the people) sesuai dengan yang tertuang di dalam konstitusi.

Konstitusi kita yaitu UUD 1945 juga tidak disebutkan kedaulatan tertinggi ada ditangan partai.Tapi mengapa partai politik memiliki kedaulatan begitu besar, begitu tinggi, jauh lebih tinggi dari kedaulatan rakyat yang notabene sebagai pemilik kedaulatan tertinggi?

Fenomena tersebut terjadi karena Indonesia saat ini sudah menjelma menjadi negara yang mengarah pada kondisi Partaikrasi. Partaikrasi adalah istilah untuk Indonesia tapi sebenarnya Partaikrasi berangkat dari istilah bahasa Yunani yaitu Partitokrasi. Partitokrasi secara harfiah berasal dari kata partai (party) dan akhiran krasi (crachy). Akhiran krasi merujuk pada sistem kekuasaan yang di antaranya terdapat sistem pemerintahan dimana partitokrasi adalah kondisi di mana kekuasaan termasuk di dalamnya pemerintahan ada di tangan partai.

Dengan kata lain Partitokrasi adalah suatu sistem yang berlaku akibat dominasi partai yang luar biasa, mulai dari rekrutmen pejabat publik, kebijakan publik, dan berbagai kebijakan lainnya sehingga hampir merangsek ke segenap lini. Karena dominasi partai maka pada akhirnya partai bisa membentuk kartelelisasi partai. Kartelisasi menyebabkan korupsi politik yang bersifat endemik, sistemik meskipun bukti buktinya sulit kalau mau dicari.

Dalam suatu negara yang sudah diwarnai sistem Partaikrasi maka kebijakan negara diwakili parpol dengan melakukan deal-deal ilegal, tidak bermoral (shady and sleaze deal) serta melakukan favoritisme demi kejayaan partai (Jean Blondel, ”Party Government, Patronage, and Party Decline in Western Europe” dalam Political Parties: Old Concepts and New Challenges, Richard Gunther, et al; 2002).

Ketika sebuah partai menjadi sangat dominan, seluruh aspek sosial, ekonomi, hukum, politik, dan sebagainya dikuasai penuh oleh jaringan partai. Di sini, ideologi tidak banyak berperan, begitu juga pemimpin politik karismatik yang biasanya menjadi contoh untuk diikuti.

Tipologi partitokrasi dapat dikenali dari adanya partai massa yang kuat yang mampu mendikte segenap kebijakan pemerintah karena pemimpin pemerintahannya biasanya dilabeli sebagai petugas partai.

Potensi untuk tumbuh suburnya Partaikrasi di Indonesia sangat beralasan mengingat keberadaan partai politik di Indonesia masih membawa paradigma bahwa kekuasaan adalah persoalan maksimalisasi peranan sebuah kekuatan politik dalam pemerintahan untuk mempertebal pundi pundi. Selain itu, faktor lain yang sangat mendukung bagi munculnya partitokrasi adalah ketidaksiapan sebuah partai untuk beroposisi.

Jika sebuah partai disini kalah dalam pemilu kecenderunganya tidak mau mengambil posisi sebagai partai oposisi agar secara rutin bisa melaksanakan bagian kewajibannya untuk memperbaiki diri. Terutama sebagai pemberi opini tandingan (second opinion) kepada publik atas program pemerintah yang tidak sejalan dengan kehendak rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi.

Sudah barang tentu pemerintahan yang terlalu mengakomodasi banyaknya kepentingan politik hanya akan memberikan kontribusi bagi sebagian kecil kelompok yang diwakili. Selebihnya pemerintahan tersebut gagal untuk mengarahkan pembangunan yang berjalan di atas janji kampanye kandidatnya buat kepentingan warga negara secara proporsional alias bukan cuma kelompok kecil yang diwakili.

Dengan merebaknya sistem Partakrasi, Rezim partitokrasi akan membawa dampak buruk bagi perjalanan demokratisasi di negeri ini. Karena peluang untuk menumbuhkan kemandirian partai politik semakin jauh panggang dari api. Kekuatan politik yang terbiasa mendapat perlakuan manja dan dituruti semua keinginannya membuatnya menjadi tidak teruji. Pada gilirannya Partai tidak lagi mempunyai tanggung jawab membangun akar politiknya yang berfungsi untuk menopang idealisme platformnya sesuai visi dan misi.

Ditengah merebaknya sistem Partaikrasi, sasaran pembangunan alias warga negara hanya menjadi obyek yang terbelah karena mengalami perbedaan perlakuan alias terjadi diskriminasi. Perlakuan dan keistimewaan akan sangat tergantung pada derajat akses partainya pada poros kekuasaan yang dimiliki.

Adalah sangar wajar kalau partai tertentu akan lebih memprioritaskan perlakuan istimewa kepada warga negara yang telah memberikan suaranya kepadanya sebagai sarana untuk pemenuhan janji. Sehingga dengan alokasi sumberdaya yang terbatas sangat mungkin warga negara lainnya yang tidak memberikan suara akan diperlakukan berbeda alias terjadi diskriminasi.

Lagi pula dalam sistem Partaikrasi, rakyat sejatinya hanya sebagai pelengkap demokrasi setiap lima tahun sekali. Di mana setiap muncul musim Pemilu, rakyat disuguhi dengan amplop serangan fajar yang akan mempengaruhi pilihannya nanti. Pasca pemilu berlalu, rakyat tidak lagi mempunyai fungsi, role dan keikutsertaannya dalam menentukan kebijakan di tingkat pengambilan keputusan pemerintahan karena sudah diambil alih oleh wakil-wakil rakyat yang notebene sebagai duta duta partai.

Peran dan fungsi rakyat tidak tampak dan tidak terrefleksi didalam pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten ataupun di parlemen dimana suaranya seharusnya terwakili. Rakyat hanya dikibuli, hanya sebagai budak-budak dan babu-babu demokrasi yang dimanfaatkan suaranya setiap lima tahun sekali.

Dengan sistem Partikrasi pada akhirnya seorang Presiden yang terpilih merasa punya kewajiban untuk mengakomodasi kepentingan partai yang mendukungnya meraih kursi.Kalau sudah begini maka intervensi partai politik di dalam pemerintahan yang menganut sistem presidensial sangat rentan memunculkan bentuk asimetrikal dalam demokratisasi. Akibatnya, presiden terpilih akan masuk jebakan rezim Partaikrasi. Sebuah tipologi pemerintahan yang dikontrol secara dominan oleh kepentingan partai.

Mengapa Terjadi ?

Merebaknya sistem Partaikrasi disebabkan antara lain oleh memudarnya semangat partai untuk memegang teguh ideologi partai. Pasca reformasi, dalam perjalanannya belakangan ini, sistem kepartaian di Indonesia seolah-olah mengalami pergeseran dalam hal orientasi ideologi partai, dimana dalam setiap pemilihan, bebera partai politik tidak lagi melihat persoalan ideologi tapi lebih berorientasi kepada upaya pencapaian kekuasaan atau untuk meraih kursi.

Beberapa Partai Politik yang awalnya merupakan partai yang memiliki basis ideology, sebagai partai doktriner yang beridentitas partai kader, mulai bergeser menjadi partai pragmatis untuk mengejar jabatan atau mempertebal pundi pundi. Padahal Ideologi partai politik dapat menjadi arah dan petunjuk partai politik untuk memperjuangakan kondisi masyarakat (Firmanzah, 2008) yang diwakili. Nilai-nilai atau ideologi Partai Politik belakangan ini terlihat mulai luntur, terganti oleh proses kompromi dan aspek kepraktisan jangka pendek yang miskin nilai.

Banyak partai sudah melupakan ideologinya sebagai panduan gerak poltiknya sesuai visi misi partai. Adanya ketidakjelasan ideologi partai politik menggambarkan bahwa beberapa partai tersebut hanya mengejar kekuasaan sehingga bisa seenaknya merekrut calon anggota legislatif atau kepala dan wakil daerah dari berbagai latar belakang apa saja, asal mereka dipandang mampu secara finansial membiayai partai atau menopang kepentingan partai. Demikian pula ketika membangun koalisi antar partai yang cenderung mengabaikan ideologi partai.

Kecenderungan untuk mengabaikan ideologi partai ini telah menyuburkan semangat partai untuk berlomba lomba mengejar kepentingan sesaat demi mendapatkan kursi kekuasaan dan mempertebal pundi pundi sehingga antar partai bisa sangat mudah untuk berkoalisi asalkan deal deal untuk kepentingan prakmatis bisa disepakati. Fenomena ini sangat menopang untuk terciptanya sistem Partaikrasi.

Hidup suburnya Partaikrasi dipengaruhi pula oleh sistem pendanaan partai. Seperti diketahui, Partai politik membutuhkan sumber dana yang terbilang sangat besar untuk mencakup mulai dari kebutuhan operasional (kesekretariatan) hingga konsolidasi organisasi.

Kebutuhan partai politik ini setidaknya terbagi ke dalam lima aspek, yakni : (1) operasional sekretariat, yang mengacu pada (2) konsolidasi organisasi, termasuk Musyawarah Nasional, kongres, atau muktamar; (3) pendidikan politik termasuk kaderisasi; (4) unjuk publik yang meliputi survei, pemasangan iklan di media massa, perayaan ulang tahun, bakti sosial, seminar, dan kegiatan lainnya; serta (5) perjalanan dinas ketua umum partai politik bersama jajaran pengurus partai nasional lainnya (Junaidi dkk, 2011). Besarnya pengeluaran ini tidak dibarengi dengan pendapatan atau pemasukan yang memadai.

Pendapatan partai politik diatur sebagaimana yang diatur dalam undang undang, dan disebutkan juga dalam AD/ART partai politik, mencakup lima sumber: iuran anggota, sumbangan perseorangan anggota, sumbangan perseorangan bukan anggota, sumbangan badan usaha, dan dari negara yang memberikan subsidi.

Penelitian Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan Indonesia (Kemitraan) tentang keuangan partai politik mencoba membuat simulasi pendapatan dan belanja partai. Tidak transparansinya partai politik merupakan indikasi kuat atas penerimaan illegal sebagai cara pintas partai politik menyiasati ketimpangan antara pendapatan dan belanja partai.

Cara pintas yang umumnya dilakukan adalah dengan mengambil sumber sumber dana illegal dari elemen elemen pemerintahan, baik di eksekutif maupun legislative sehingga memunculkan praktek praktek korupsi. Setiap tahunnya jumlah kasus kasus korupsi meningkat signifikan yang sebagiannya karena dialokasikan untuk setor ke partai. Ini menunjukkan semakin tidak terkendalinya praktek praktek korupsi dan penyalahgunaan wewenang dari instansi dan jabatan publik kepada kas-kas partai.

Bentuk keterlibatan ini terjadi sejak dalam pelaksanaan fungsi penganggaran yaitu sejak tahap pembahasan RAPBN atau RAPBD oleh Panitia Anggaran DPR/DPRD atau pembahasan di tingkat Komisi. Modus lain bisa melalui suap untuk mendapatkan dukungan atas pengesahan proyek, pelaksanaan fungsi dan wewenang legislasi dan pengawasan, dan juga suap dalam pembahasan undang undang untuk penghilangan pasal-pasal tertentu dalam legislasi.

Praktek-praktek korupsi tetap marak meskipun sudah ada undang undang yang mengatur soal sumber daya keuangan partai. Akan tetapi, ketentuan perundang undangan itu tidak mudah dilaksanakan dan di awasi. Misalnya, dalam undang undang No 2/2008, besaran perseorangan bukan anggota parpol ditentukan paling banyak Rp 1 miliar per orang dalam waktu satu tahun anggaran. Sumbangan dari perusahan atau badan usaha paling banyak Rp 4 miliar per perusahaan dalam satu tahun anggaran. Masalahnya adalah bagaimana mengawasi ketentuan bahwa sumbangan perseorangan bukan anggota parpol paling banyak Rp 1 miliar? Atau, bagaimana pula pengawasan terhadap sumbangan yang berasal dari perseorangan anggota parpol sendiri?

Soal yang menyangkut pendanaan partai ini nampaknya memang menjadi salah potensi yang menyumbang untuk terciptanya rejim Partaikrasi mengingat sifat partai yang sering berpikir prakmatis mengabaikan visi misi partai dan ideologi partai.

Selain faktor pembiayaan dan abainya partai politik dengan ideologi yang di usungnya, Partaikrasi juga muncul karena fenomena partai di negeri ini yang kebanyakan dikelola oleh keluarga atau dikelola oleh segelintir orang (kelompok oligarki). Menguatnya kedaulatan partai yang berfokus pada kekuasaan terjadi bersamaan dengan berkembangnya partai menjadi semakin mirip dengan perusahaan pribadi (aglomerasi).

Fenomena partai yang dikelola mirip perusahan keluarga ini tentu akan sangat riskan sekali kalau mereka berlolaborasi dengan pemilik modal dari kaum oligarki. Dalam kaitan ini pernah ada pernyataan dari Ketua MPR Bambang Soesatyo dimana ia menyatakan untuk menguasai partai politik, kata Bamsoet, seorang pemodal cukup merogoh kantong tak lebih dari Rp 1 Triliun!

Artinya dengan jumlah parpol yang lolos ambang batas parlemen hanya berjumlah 9, maka untuk menguasai parlemen secara penuh hanya butuh modal Rp 9 Triliun. Jumlahnya jauh lebih sedikit, karena untuk menguasai parlemen tak perlu semua partai harus dibeli. Cukup dua pertiga suara saja yaitu dengan memilih 3 partai dengan suara tertinggi. Jadi modalnya kira-kira hanya Rp 5-6 Triliun mereka sudah bisa menguasai Indonesia lewat upaya mencalonkan jagoannya sebagai pemimin negeri ini. Murah sekali?

Dengan menguasai parpol, menguasai parlemen, maka para pemodal bisa menentukan siapa yang menjadi Presiden, Menteri, Panglima TNI, Ketua KPK, Kapolri, Gubernur, Bupati, Walikota dan berbagai jabatan publik lainnya di seluruh pelosok negeri. Tentu saja termasuk pimpinan MPR, DPR dan DPD RI: menjadi ngeri sekali?.

Dalam bahasa yang lebih lugas, Bamsoet ingin mengatakan parpol dan para pejabat kita sesungguhnya tidak lebih hanya sekedar proxy, boneka dari para pemilik modal yang telah memodali. Mereka adalah orang-orang yang di ongkosi untuk menjalankan agenda kepentingan para pemilik modal yang tergabung dalam kelompok oligarki. Urusannya tidak jauh jauh penguasaan sumber daya alam dan ekonomi.

Mengebiri Partaikrasi

Dampak yang paling nyata dari cengkeraman Partaikrasi adalah memudarnya kedaulatan rakyat yang notabene sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Karena itu untuk mengembalikan kedaulatan rakyat sebagaimana amanah konstitusi salah caranya antara lain bisa dilakukan dengan melakukan reformasi partai politik yang sudah melenceng jauh dari fungsi yang seharusnya di jalani.
Perlu upaya mereposisi atau mempertegas kembali peran dan fungsi partai politik degan melakukan beberapa langkah, Pertama; semua partai politik memperkuat fungsinya sebagai institusi pendidikan politik untuk rakyat, Kedua; pentingnya mengaudit keuangan partai politik secara lebih efektif dan Ketiga; pemberian sanksi yang tegas bagi kader partai politik maupun institusi porpol sendiri jika melakukan suatu perbuatan yang dipandang melawan hukum. Selain itu para pimpinan Parpol harus jujur dan berani melakukan transformasi internal, supaya tidak membawa virus yang merusak demokrasi di negara ini.

Ada baiknya juga untuk berkaca pada Pemilu di Amerika dimana setelah selesai Pemilu dan kemudian diadakan audit keuangan maka setelah selesai audit, kegiatan partai politik dibekekukan, tidak boleh lagi melakukan aktivitas politik lagi. Nanti sekitar 12 bulan atau 8 bulan, sebelum next election, kegiatan partai politik itu dibuka kembali untuk keperluan registry dan logistics para kandidat yang akan berkontestasi. Apakah mungkin hal ini juga dilakukan di negara kita ini untuk mengurangi merebaknya Partaikrasi?

Tuliskan Komentar