Harmoninews.com – Layanan aplikasi Nusuk yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi menjadi trend di kalangan masyarakat untuk menjalankan ibadah umrah secara mandiri. Lewat layanan aplikasi Nusuk, setiap orang di Indonesia bisa membeli paket umrah secara mandiri tanpa melalui penyelenggara perjalanan ibadah umrah dengan tetap menggunakan kaidah-kaidah internasional (ada tiket pesawat pulang pergi, hotel yang memadai, jadwal yang jelas, visa, maupun transportasi domestik yang memadai).
Fenomena umrah mandiri kini pun menuai pro dan kontra di Indonesia karena belum dibarengi dengan regulasi yang ada, serta resiko-resiko lain yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan umrah itu sendiri, khususnya bagi umrah mandiri.
KH. Hafidz Taftadzani selaku senior penyelenggara perjalanan ibadah haji dan umrah menjelaskan, umrah backpacker awalnya dilakukan oleh orang-orang Asia Selatan yang mempunyai jarak wilayah dekat dengan Arab Saudi, sehingga biaya perjalanan lebih murah. Namun, untuk haji atau umrah mandiri di Indonesia belum banyak dilakukan karena masyarakat Indonesia perlu bimbingan selama perjalanan di Tanah Suci.
“Haji atau umrah mandiri masih jarang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Hanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kerabat atau keluarga di Saudi untuk bisnis atau dilaksanakan oleh kaluarga atau para penyelenggara haji-umrah atau kelompok-kelompok tertentu yang sangat privasi. Mereka akan dijemput oleh orangt-orang tertentu yang menyiapkan hotel, konsumsi dan transportasi yang memadai,” ujar KH Hafidz kepada media di Jakarta, Kamis (28/3/2024).
Menurut pengamatan KH. Hafidz, umrah backpacker sekarang banyak dimainkan oleh koordinator yang mencari jamaah dengan harga lebih murah dan dia akan mendampingi calon jamaah sejak berangkat sampai kepulangan. Para koordinator tersebut tentu akan mendapatkan keuntungan lebih besar karena mengesampingkan regulasi dan tidak membayar pajak kepada negara .
“Ciri-ciri penyelenggaraan umrah backpacker yaitu hotel di Madinah tidak sesuai pada umumnya, penggunaan kamar juga tidak sesuai, misalnya 40 orang hanya disewakan dua kamar. Tempat jauh dari masjid, mereka ke masjid dengan biaya sendiri sehingga jamaahlah yang menentukan saat di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi kapan pulang ke kamar, sehingga berada di masjid hampir 24 jam berada di masjid, dan keluar hanya untuk makan dan bersuci. Adapun makanannya akan dilakukan oleh catering yang tidak berizin yang disediakan di emper-emper hotel,”ujarnya.
Ciri lainnya adalah, peserta backpacker adalah kelompok-kelompok tertentu yang abai dalam menjaga kesehatan dan bimbingan total selama di Saudi, sedangkan jamaah umrah reguler adalah kebanyakan jamaah umrah yang segala sesuatunya sudah diatur di Negara Indonesia dan keberadaan mereka sangat dihormati.
“Umrah backpacker menyelinap di permintaan visa, mungkin kelompok tersebut hanya membeli visa saja kepada provider sehingga di Arab tidak diketahui keberadaan visa tidak dimelalui aplikasi nusuk karena banyak dari mereka yang tidak dalam aplikasi tersebut,”ucapnya.
“Untuk menghadapi umrah backpacker kita harus mengeluarkan regulasi supaya umrah backpacker tidak lagi menjamur dan merusak nama bangsa didunia penyelenggaraan umrah,”sambungnya.
Sesuai pengamatan Pria Lulusan Ummul Qora Makkah, banyak sekali pelaku umrah backpacker yang tidur dan mandi di masjid serta membawa barang tas besar di masjid, terutama adalah orang-orang di luar Indonesia.
“Kalau ini dilakukan oleh orang Indonesia kan juga akan membawa dampak dan stigma buruk bagi citra Indonesia yang sudah terkenal ramah dan teratur saat di Saudi,” sambungnya.
Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya hal-hal semacam ini dan menghindari hal yang lebih parah lagi, KH. Hafidz berharap pemerintah Indonesia menyampaikan kepada masyarakat untuk tidak dianjurkan menjalankan ibadah umrah secara bacpacker, apalagi dengan 40 orang hanya menggunakan 2 kamar hotel yang jaraknya jauh.
“Pemerintah bersama asosiasi haji umrah menyampaikan kepada masyarakat bahwa umrah backpacker sangat merugikan, baik merugikan secara pribadi atau pada sistem ibadah kita, kesehatan kita maupun pada bangsa kita,” ujarnya.
Perketat Pengawasan
KH. Hafidz yang juga sebagai Dewan Pembina Asosiasi Penyelenggara Haji, Umrah dan In-Bound Indonesia (ASPHURINDO) meminta pemerintah Indonesia khususnya Kementerian Agama serius menangani persoalan umrah bacpacker ini. Bahkan meminta Kemenag tegas dalam menata sistem penyelenggaraan ibadah umrah. Terlebih, bisa memberikan efek jera bagi para pelaku umrah backpacker.
“Kementerian Agama harus betul-betul ketat dalam mengawasi perjalanan umrah ini, khususnya di pintu masuk dan keluar bandara. Setiap keberangkatan jamaah harus ditanyakan kepada kepala rombongan. Hotelnya seperti apa, makannya seperti apa dan lainnya. Karena dikhawatirkan itu adalah umrah backpacker,”tegasnya.
Lebih lanjut, KH. Hafidz menyebutkan bahwa perjalanan ibadah umrah adalah persoalan niat untuk menjalankan ibadah di Tanah Suci, sehingga dengan hadirnya umrah backpacker, niat umrah akan berubah bukan lagi dalam bentuk ibadah, namu lebih kedalam bentuk wisata umrah.
“Jangan sampai perjalanan ke Tanah Suci untuk tujuan ibadah ternodai hanya untuk berwisata dengan melakukan backpacker,” pungkasnya.