Tanah Papua di Bawah Kontrol Militer
Oleh Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman
Operasi militer di tanah Papua telah berumur puluhan tahun. Operasi militer yang hingga sekarang terus berlangsung untuk mengamankan wilayah, yang menjadi bagian kedaulatan Indonesia – sesudah proses agitasi dan pendudukan pada masa lampau.
Barangkali tidak begitu sulit saat membuka lembaran sejarah Papua dan menemukan bagian pengerahan kekuatan militer untuk merebut wilayah Papua. Sudah beberapa decade perang dan pengerahan kekuatan armada dan pasukan militer itu, namun mengapa hari ini lembaran lama itu seakan terus menerus tiada bagian akhirnya.
Warisan kolonialisme itu terjaga berkat dukungan militer, yang melakukan aksi-aksi untuk meredam dan menekan rakyat Papua yang terus bersuara untuk melawan dan menolak tunduk pada kekuasaan atau pemerintah pusat di Jakarta.
Pada 24 Januari 2022, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa kepada CNN-Indonesia mengatakan mengembalikan operasi penanganan keamanan di Papua dan Papua Barat sama seperti yang diterapkan di provinsi lain. “Secara umum ada beberapa perubahan yang kami lakukan untuk menghadapi dinamika permasalahan disana secara jangka panjang, yaitu dengan mengembalikan tugas-tugas atau operasi yang ada di Papua dan Papua Barat jadi bagian tugas satuan organic seperti di provinsi dan pulau lain di Indonesia.”
Jenderal Andika juga menyampaikan penambahan pasukan diberbagai wilayah yang dianggap sebagai titik-titik baru. Ia menyebutkan akan ada penambahan pasukan titik-titik baru di provinsi Papua dan Papua Barat yaitu Satgas Kodim Paniai, Kodim Intan Jaya, Kodim Puncak, Kodim Lanny Jaya, Kodim Yalimo, Kodim Pegunungan Bintang, dan Kodim Nduga.
Pada 17 Januari 2022 hingga 31 Desember 2022, Polri menggelar Operasi Damai Cartenz yang merupakan pengganti Satgas Operasi Nemangkawi, dengan total 1.925 personel yang terdiri dari 528 personel Polda Papua, 1.296 personel dari Mabes Polri serta 101 prajurit TNI.
Penambahan pasukan dan operasi-operasi militer, baik yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia maupun juga Kepolisian RI, telah menunjukan bahwa negara menggunakan militer untuk mengontrol wilayah dan masyarakat Papua. Dominannya peran militer dalam aktivitas sosial dan mengisi ruang-ruang publik di masyarakat mempersempit dan membatasi ruang demokrasi di Papua.
Analis Papua, yang kini menjadi Komisioner Komnas HAM RI, Amiruddin al Rahab mengungkapkan bahwa sejarah kehadiran militer di Papua yang turut menambah daftar panjang kekerasan terhadap orang Papua. Dalam buku Heboh Papua: Perang Rahasia-Trauma dan Separatisme (2010:43), Amiruddin menyebutkan ABRI – kini TNI, bagi orang Papua menampakan wajah Indonesia. “Orang-orang Papua secara perlahan, baik elit maupun jelata juga mulai mengenal Indonesia dalam arti sesungguhnya. Singaktnya dalam pandangan orang Papua, ABRI adalah Indonesia, Indonesia adalah ABRI.”
Seperti yang telah saya sebutkan diatas, kehadiran militer itu juga berkaitan dengan adanya bisnis di tanah Papua. Artinya, berbagai fenomena kekerasan yang melibatkan militer, diantaranya juga melibatkan aktifitas ekonomi di Papua. Amiruddin kembali mengingatkan tentang kehadiran PT Feeport di Papua yang juga memunculkan peran dan kehadiran militer di tanah Papua. Berikut kutipannya (2010:46):
“Semakin menghujamnya cengkaraman militer terhadap kehidupan sosial politik di Papua juga tidak terlepas dari potensi ekonomi di daerah ini yang begitu besar. Hal itu terlihat ketika PT Freeport mulai mengembangkan pengaruh dalam politik lokal dengan cara yang lebih keras. Selain itu, militer juga memperbesar kekuasaannya dengan menempatkan diri sebagai pelindung dari mengalirnya ribuan imigran dan transmigrasi dari luar Papua.”
Berbagai fenomena kekerasan dan konflik di Papua, menegaskan bahwa peran militer yang tercatat dalam sejarah Papua pada 1960-an, telah memperkuat dan memperkokoh praktik-praktik kolonialisme dan kapitalisme hingga saat ini. Bahkan, saya melihat kolonialisme identik dengan militerisme. Ini semacam kekuatan yang menyatu menjadi kembar tiga: kolonialisme, kapitalisme, militerisme. Ketiganya seolah satu nyawa dan satu roh yang tak terpisahkan.
Menengok peristiwa kekerasan negara melalui aparat keamanan di Nduga (20180, Intan Jaya (2019), Ilaga Puncak (2020), Yahukimo (2021) tidak terlepas dari kepentingan kapitalisme dan kolonialisme. TPN-PB atau OPM yang tidak berdaya (powerless) selalu dikambinghitamkan untuk operasi-operasi militer dengan tujuan penguasaan wilayah yang berpotensi adanya tambang emas dan kekayaan alam lainnya.
Dewan Gereja Papua (WPCC) pada 7 Oktober 2020 dalam Surat Gembala menyatakan bahwa remiliterisasi di tanah Papua menjadi siasat pemerintah Indonesia untuk melanjutkan Otonomi Khusus secara sepihak dan mengembalikan atau memulihkan tanah Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) yang sebenarnya belum dicabut. Remiliterisasi begitu nyata disaksikan pada tahun 2019 dengan adanya pengerahan pasukan yang besar ke Papua, dan mendukung dan memperkuat proses pembangunan KODIM dan KOREM.
Dewan Gereja Papua, melalui Surat Gembala, berpendapat berdasarkan fakta-fakta di lapangan, program-program militer itu berjalan untuk tujuan penguasaan sumber daya alam tanah Papua secara masif.
“Menurut kami, surat ini tidak keluar dari ruang kosongatau tidak jatuh dari langit tetapi dari tengah dinamika tanah Papua. Oleh karena itu, melalui surat ini, kami meminta Bapak Presiden sebagai panglima tertinggi TNI dan Polri dan Presiden dari negara anggota Dewan HAM PBB agar menghentikan status Daerah Operasi Militer (DOM) atau Remiliterisasi tanah Papua. Karena hal ini akan terus mempertontonkan kekuatan militer negara tanmpa memberi ruang demokrasi dan kebebasan mengemukakan pendapat/berkumpul kepada orang Papua.”
Kini, ketika kekuatan militer dalam jumlahnya semakin membesar di tanah Papua, semakin memunculkan banyak masalah keamanan. Kehadiran kekuatan militer atau aparat keamanan yang berlebihan di tanah Papua telah mempersempit ruang gerak orang-orang Papua, yang juga tingkat kesadarannya dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran semakin membesar pula. Disinilah, masyarakat sipil yang menyuarakan kepentingan orang-orang asli Papua yang tersingkir dan tertindas, kemudian berbenturan keras dengan militer – yang dipakai untuk merespon sikap-sikap kritis orang asli Papua.
Militerisasi di Tanah Papua
Luas pulau Papua 455.092 km2 dengan jumlah penduduk 4.392.024 jiwa. Hal yang membuat saya bertanya-tanya adalah penambahan jumlah pos-pos dan markas komando bagi aparat keamanan yang jumlahnya terus bertambah. Kodim dan Polres dan berbagai kesatuan terus ditingkatkan. Tak berlebihan, bila saya bertanya, apakah tanah Melanesia ini akan menjadi ‘rumah militer-polisi’ atau juga transmigran?
Pembangunan markas-markas polisi dan militer disejumlah tempat telah membawa akibat negative bagi masyarakat. Penduduk asli Papua dari Sorong sampai Merauke akan menanggung akibatnya dengan kehilangan tanahnya. Tanah mereka terampas karena proyek pembangunan gedung-gedung kantor, markas Kodam, Polda, Kodim, dan Polres.
Bertambahnya markas militer dan kepolisian sejak Otonomi Khusus 2001 mungkin tidak pernah dibayangkan oleh orang asli Papua, bahwa diantara pembangunan era Otsus juga dikembangkan pembangunan markas-markas dan pos-pos aparat keamanan.
Diera Otsus tercatat ada pembangunan Kodim dan Koramil baru di seluruh tanah Papua seperti Kodim 1714 Puncak Jaya, Kodim 1715 Yahukimo, Batalyon 756 Jayawijaya, dan Koramil 1715 Kenyam Nduga. Jumlah ini akan terus bertambah dan berkembang lagi. Sementara kepolisian juga menambah pos-pos seperti Polres Puncak Jaya, Polres Lanny Jaya, Polres Tolikara, Polres Intan Jaya, dan Polres Yahukimo, dan ini masih akan terus bertambah.
Baik markas TNI maupun kepolisian memakan banyak biaya. Misalnya pembangunan kantor Polres Puncak menelan biaya Rp 13 miliar lebih. Data ini diperoleh dari pesan Kapolda Papua Jenderal Pol. Paulus Waterpauw yang beredar di WhatsApp pada 21 Juli 2020, yang juga saya terima.
“Yth. Bapak Kapolri, izin melaporkan saat ini kami besama Pangdam di Kab. Puncak Ilaga dlm rangka laksanakan peresmian Polres Kab Puncak yang dibantu anggaran Pemda Puncak 13 M lebih sejak tahun 2016, kemarin kami juga telah ikuti peletakkan batu pertama Kodim Puncak di Distrik Gome, dump perkembangan akan dilaporkan ksp pertama Kapolda Papua.”
Pertanyaannya ialah dari mana sumber dana pembangunan Kodim dan Polres di setiap kabupaten baru? apakah rakyat Papua membutuhkan pembangunan Kodim dan Polres di setiap kabupaten? apakah dana Rp 13 miliar lebih dari pemerintah daerah Puncak berasal dari dana Otsus, dana APBD, atau APBN?
Fakta dilapangan, sering dijumpai, bahwa keberadaan ataupun penambahan – penambahan markas TNI maupun kepolisian terkait dengan konflik yang terjadi di Papua. Alih-alih untuk keamanan dan perlindungan warga, aparat keamanan justru menjadi bagian konflik yang menimbulkan krisis kemanusiaan berkepanjangan dan tak terselesaikan.
Konflik di Nduga, salah satu daerah yang berada dalam krisis kemanusiaan. Operasi keamanan atau militer telah melahirkan tragedi yang panjang. Penduduk asli Papua mengungsi ke hutan, dalam ketakutan, sebagian bahkan meninggal karena kelaparan dan jatuh sakit. Bahkan ini memutus generasi Papua, karena pendidikan anak-anak terputus, sekolah tutup, dan taka da guru.
Operasi militer di Nduga berlangsung dari Desember 2018 hingga 2020, berawal atas perintah Presiden Joko Widodo. Kepala awak media Presiden Joko Widodo menyerukan operasi militer untuk menyelesaikan konflik di Nduga, seperti dilansir DetikNews (5/12/2018), “Tangkap seluruh pelaku penembakan di Papua, tumpas hingga ke akar.”
Perintah operasi dari Presiden didukung juga oleh Wapres H. Jusuf Kalla dengan menyatakan seperti diberitakan Tribunnews.com (6/12/2018) bahwa “kasus ini ya polisi dan TNI operasi besar-besaran karena ini jelas mereka kolompok bersenjata yang menembak.”
Perintah operasi juga didukung oleh Ketua DPR RI Bambang Soesatyo dengan menyatakan “…DPR RI usul pemerintah tetapkan operasi militer selain perang di Papua (Kompas.com, 13/12/2018).
Selama operasi militer di Kabupaten Nduga berlangsung banyak penduduk dari kalangan orang asli Papua menjadi korban. Ada sekitar 205 orang tewas karena ditembak aparat dan mati ditempat pengungsian karena kelaparan. Hampir 37.000 penduduk asli Nduga meninggalkan kampung halaman dan menyelamatkan diri ke Lanny Jaya, Timika, Ilaga, dan Jayawijaya.
Bahkan ada kisah seorang ibu hamil yang sangat menyedihkan dan menyentuh hati nurani kita semua, dimana akibat operasi militer di Nduga sebagaimana dilaporkan media lokal Suarapapua.com pada 8 Juni 2019 berikut ini:
“Saya melahirkan anak di tengah hutan pada 4 Desember 2018. Banyak orang berpikir anak saya sudah meninggal. Ternyata anak saya masih bernafas. Anak saya sakit, susah bernafas dan batuk berdahak. Suhu di hutan sangat dingin, jadi waktu kami berjalan, saya merasa anak bayi saya sudah tidak bergerak. Kami pikir dia sudah meninggal. Keluarga sudah menyerah. Ada keluarga minta saya buang anak saya karena dikira dia sudah mati.
Tetapi saya tetap mengasihi dan membawa anak saya. Ya, kalau benar meninggal, saya harus kuburkan anak saya dengan baik walaupun di hutan. Karena saya terus membawa bayi saya, saudara laki-laki saya membuat api dan memanaskan daun pohon dan daun itu ditempelkan pada seluruh tubuh bayi saya. Setelah ditempelkan daun yang dipanaskan itu, bayi saya bernafas dan minum susu.
Kami ketakutan karena TNI terus menembak ke tempat persembunyian kami. Kami terus berjalan di hutan dan mencari gua yang bisa untuk bersembunyi. Jadi, saya baru tiba di Kuyawagi Kabupaten Lanny Jaya pada awal bulan Desember 2018. Sebelum di Kuyawagi, kami tinggal di hutan tanpa makanan yang cukup. Kami sangat susah dan menderita diatas tanah kami sendiri.”
Pembela HAM Papua dari Yayasan Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem mengungkapkan bahwa dalam operasi di Nduga, TNI telah menembak mati 5 orang sipil pada 20 September 2019 di Gua Gunung Kenbobo, Distrik Inye dan mayat mereka dikuburkan dalam satu kuburan. Nama-nama korban tewas: Yuliana Dorongi (35/perempuan); Yulince Bugi (25/perempuan); Masen Kusumburue (26/perempuan); Tolop Bugi (13/perempuan); dan Hardius Bugi (15/laki-laki).
Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP); dan Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
Komentar