SERUAN GEREJA UNTUK SELESAIKAN KONFLIK PAPUA
Oleh Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman
Konflik di Tanah Papua terus terjadi karena pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan keamanan. Janji Presiden seperti Joko Widodo yang hendak menyelesaikan persoalan HAM dan konflik di Papua pun menguap begitu saja hingga akhir masa jabatannya pada Oktober 2024.
Era presiden Joko Widodo yang dikenal sering berkunjung di Papua, lebih menaruh perhatian pada pembangunan infrastruktur – itupun tak banyak melibatkan orang asli Papua, sementara pelbagai konflik dan kekerasan terus terjadi, seperti peristiwa pembunuhan, konflik bersenjata di daerah-daerah pegunungan antara TPNPB dan TNI-Polri terus berlangsung.
Berulang kali, tak kenal lelah, para pemimpin dan warga gereja di Papua memberikan perhatian agar konflik di Papua mendapatkan jalan keluar terbaik. Seruan-seruan moral dan suara profetis Gereja-gereja di Tanah Papua dihadirkan dalam bagian ini karena pemimpin agama dan gereja di Tanah Papua tidak pernah membisu dan diam dalam melihat persoalan ketidakadilan dan ancaman kemanusiaan dan pelanggaran HAM terhadap orang asli Papua.
Agama dan Gereja-gereja di Tanah Papua menilai, bahwa masalah pro dan kontra terhadap beragam persoalan konflik, misalnya pelaksanaan Pepera 1969 tidak akan bisa diselesaikan dengan cara pemblokiran jalan, penangkapan, penahanan, atau pemukulan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Tindakan aparat keamanan yang menangkap, mengadili, dan memenjarakan semua orang Papua tidak akan menyelesaikan masalah Pepera.
Suara dan seruan moral dari Gereja-gereja di Papua begitu konsisten mendesak penyelesaian konflik Papua secara dialog hingga ke akar persoalannya.
Sebagai catatan, pada 20 Maret 2022, Dewan Gereja Papua dengan jelas menyampaikan seruan moral, yaitu menyelesaikan konflik berkepanjangan di Tanah Papua, konsisten mendesak dilakukan dialog antara pemerintah Indonesia dengan ULMWP (United Liberation Movement for West Papua), seperti yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
Tak main-main, WPCC (Dewan Gereja Papua) pada 21 November 2022 mengeluarkan seruan moral solusi untuk mengakhiri semua persoalan Papua kepada lembaga internasional. Berikut kutipan seruan moral itu:
“Meminta kepada Dewan HAM PBB datang berkunjung ke Tanah Papua untuk melihat secara langsung situasi penderitaan panjang orang Papua selama 58 tahun.”
“Presiden Joko Widodo pada saat itu 30 September 2019 konsisten untuk berdialog dengan kelompok pro referendum – ULMWP yang dimediasi pihak ketiga sebagaimana yang pernah terjadi antara pemerintah Indonesia dengan GAM di Helsinki pada 15 Agustus 2005.”
Saat itu, Dewan Gereja Papua juga menegaskan kepada Joko Widodo agar berunding dengan kelompok ULMWP melalui surat Gembala Dewan Gereja Papua yang disiarkan dalam momen 166 tahun perayaan Injil masuk di Tanah Papua pada 5 Februari 2021.
“Presiden Jokowi, pada tanggal 30 September 2019, sudah berjanji di depan media masa di Jakarta bahwa pihaknya ingin bertemu dengan kelompok pro referendum Papua. Sehingga kami percaya bahwa pemerintah pusat pada akhirnya akan berunding dengan ULMWP. Melalui surat ini, kami menagih janji tersebut, demikian penggalan kutipan seruan waktu itu.
Kekerasan demi kekerasan tetap terjadi, dan konflik seakan tak terhenti. Situasi tersebut membuat sikap gereja terus menyuarakan lebih keras lagi kepada para pihak yang terlibat konflik untuk menempuh jalan dialog secara damai.
Gereja-gereja di Tanah Papua yang berhimpun dalam WPCC dan sekitar 57 Pastor Katolik Pribumi Papua bersama-sama mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan perundingan damai dan setara dengan ULMWP – kelompok yang kini merepresentasikan perjuangan rakyat Papua.
Pada 21 Juli 2020, dari 57 Pastor Katolik Pribumi Papua menyatakan bahwa: “Kami meminta kepada pemerintah Indonesia untuk mengakhiri konflik berkepanjangan di tanah leluhur kami – Papua, dengan cara dialog. Sejauh yang kami lihat, dengar, serta ikuti di media sosial, semua elemen masyarakat akar rumput di Papua, mereka meminta pemerintah Indonesia untuk berdialog dengan ULMWP yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral, sebagaimana yang pernah dilakukan dengan GAM.
Sebelumnya, WPCC mengeluarkan beberapa kali surat pastoral yang isinya mendesak pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP untuk:
Pertama, surat pastoral pada 16 Februari 2019, yang isinya, “Meminta Dewan Gereja Dunia (WCC) untuk mendorong dialog yang bermartabat dan damai antara pemerintah Indonesia dan ULMWP dalam menyelesaikan masalah sejarah politik Pepera 1969 yang melibatkan pihak ketiga yang lebih netral.”
Kedua, surat pastoral pada 26 Agustus 2019, isinya menyerukan, “Meminta keadilan dari pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan persoalan Papua yang sudah ditunjukkan oleh Indonesia untuk GAM di Aceh. Saat itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla berperan secara aktif mendukung dialog dengan GAM yang dimediasi internasional. Oleh karena itu, kami menuntut bahwa pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral; sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk menghadirkan perdamaian permanen di Tanah Papua, sesuai dengan seruan Gembala pada 26 Agustus 2019 yang telah dibacakan dan diserahkan langsung kepada Panglima TNI dan Kapolri di Swiss-Bell Hotel Jayapura.”
Jauh sebelumnya, desakan kepada pemerintah Indonesia untuk membuka dialog pernah diserukan oleh Gereja-gereja di Tanah Papua pada Januari 2011 silam. Pemerintah Indonesia diminta berdialog dengan rakyat asli Papua (pro kemerdekaan) dengan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral.
Pada 10 Januari 2011, Komunike Bersama Para Pemimpin Gereja di Tanah Papua mendesak pemerintah Indonesia untuk segera melakukan dialog damai dengan rakyat Papua guna menyelesaikan ketidakpastiaan hukum dan politik di Tanah Papua yang menjadi akar dari konflik yang berkepanjangan dan telah menyengsarakan umat Tuhan di tanah ini.
Pada 12 Agustus 2010, para pemimpin Gereja di Tanah Papua dalam pernyataan moral dan keprihatinan menyatakan, “Para pemimpin Gereja-gereja di Tanah Papua menyerukan untuk segera diadakan dialog nasional untuk menyelesaikan masalah-masalah Papua secara adil, bermartabat, dan manusiawi.
Pada 28 Juli 2009, Persekutuan Gereja-gereja Papua (PGGP) sebanyak 33 Sinode telah mendesak agar diadakannya dialog nasional dengan rakyat Papua. “Pimpinan Gereja-gereja ini menyerukan kepada pemerintah pusat agar segera melaksanakan dialog nasional dengan rakyat Papua untuk menyelesaikan masalah di Tanah Papua secara bermartabat, adil, dan manusiawi yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral.
Gereja di Tanah Papua tak diam, tiap tahun menyuarakan penyelesaian Papua secara damai. Pada 18 Oktober 2008 para pemimpin gereja menyatakan keprihatinan: “untuk mencegah segala bentuk kekerasan dan agar orang Papua tidak menjadi korban terus menerus, kami mengusulkan agar Pepera 1969 diselesaikan melalui suatu dialog damai. Kami mendorong pemerintah Indonesia dan orang Papua membahas masalah Pepera melalui dialog. Betapapun sensitifnya persoalan Papua, perlu diselesaikan melalui dialog damai antara pemerintah dan orang Papua. Kami yakin bahwa melalui dialog, solusi damai akan ditemukan.”
Gereja memfasilitasi acara yang resmi untuk membahas penyelesaian konflik Papua dengan menggelar Konferensi Gereja dan Masyarakat Papua pada 14-17 Oktober 2008. Dalam Konferensi itu diserukan: “Pemerintah Pusat segera membuka diri bagi suatu dialog dengan orang asli Papua dalam kerangka evaluasi Otonomi Khusus yang diatur dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2001 dan pelurusan sejarah Papua. Menghentikan pernyataan-pernyataan stigmatisasi: separatis, TPN, OPM, GPK, makar, dan sejenisnya yang dialamatkan kepada orang-orang asli Papua dan memulihkan hak dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan sehingga asas praduga tak bersalah harus sungguh-sungguh ditegakkan.”
Tahun 2007, tepatnya 3 Mei, Gereja-gereja di Tanah Papua menyatakan: “Pelaksanaan Otsus di Papua menjadi masalah baru dan mengalami kegagalan, maka solusinya dialog yang jujur dan damai seperti penyelesaian kasus Aceh. Dialog tersebut dimediasi oleh pihak ketiga dan yang diminta dan disetujui oleh orang asli Papua dan pemerintah Indonesia.
Sesudah itu para pemimpin agama dan gereja dalam Lokakarya Papua Tanah Damai pada 3-7 Desember 2007 mendesak pemerintah Indonesia segera menyelesaikan perbedaan ideologi di Papua dengan sebuah dialog yang jujur dan terbuka antara pemerintah pusat dan orang asli Papua dengan melibatkan pihak ketiga dan disetujui kedua belah pihak.
Tiap tahun, gereja di Tanah Papua menyuarakan jalan keluar penyelesaian konflik melalui perundingan dan dialog damai, terutama kepada pemerintah Indonesia dan rakyat Papua yang diwakili oleh ULMWP. Namun, jalan perundingan ini masih belum mendapatkan titik temu.
Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP); dan Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
Komentar