Rasisme dan Kolonialisme: Luka yang Masih Hidup di Tanah Papua
oleh Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman
Kolonialisme selalu beririsan dengan rasisme. Kenapa? perbedaan dan tindakan diskriminasi rasial terhadap bangsa lain, upaya menempatkan bangsa itu sebagai bangsa yang inferior. Bagaimana bangsa dan negara Indonesia menyiram rasisme pada orang Papua, yang terus direndahkan martabatnya, sebagai bangsa inferior daripada bangsa Indonesia?
Rasisme merupakan sikap membeda-bedakan antar sesama berdasarkan warna kulit, rambut, suku, agama, dan ras. Rasisme juga suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia, bahwa suatu ras tertentu lebih manusiawi, terhormat, terpandang, lebih maju daripada ras lain.
Bagian ini, penulis memeriksa dan menunjukkan bahwa praktik dan aksi rasisme bagi bangsa Papua, adalah bagian kolonialisme yang berjalan, disadari maupun tidak disadari, telah mendukung bahwa bangsa dan negara Indonesia masih begitu kuat mewarisi bangsa yang terjajah selama ratusan tahun.
Karena keyakinan itu, pandangan rasisme menjadi landasan atau dasar pendudukan dan penjajahan serta penindasan penguasa Indonesia atas penduduk orang asli Papua. Penguasa Indonesia dan sebagian besar orang Indonesia memandang orang asli Papua adalah manusia kelas dua. Sehingga orang Papua seringkali mendapatkan tindakan diskriminasi dengan melabeli stigma ataupun sebutan negative, macam sebutan monyet, gorila, bauh, bodoh, dan sebagainya.
Siapakah yang membuat label dan stigma kepada rakyat Papua dengan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Gerakan Pengacau Liar (GPK), Organisasi Papua Merdeka (OPM), separatis, makar, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), dan teroris. Siapakah yang memberikan label orang asli Papua dengan sebutan monyet?
Barangkali kita bisa membuka kembali pernyataan dari petinggi militer Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (KABAIS) TNI sejak tahun 1996-2014, dan Laksamana Muda TNI (Purn) Iskandar Sitompul. Dalam sebuah kesempatan, keduanya berbicara di saluran Iskandar Sitompul Publika-Poscast membongkar aib dan rahasia operasi militer serta bagaimana militer Indonesia memproduksi mitos, label, dan stigma kepada penduduk asli Papua.
Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B. Ponto mengatakan “Kita (TNI) yang memberi nama KKB, KSB, sekarang ini suka-suka memberi nama….”
Kemudian Laksamana Muda TNI (Purn) Iskandar Sitompul mengatakan “Seperti dulu, kami kasih nama GPK. Saya masih ingat di kepala saya sampai sekarang.”
Dengan tepat Syed H. Alatas (Mitos-Mitos Pribumi Malas, 1998:34,44) mengungkapkan demikian “Mereka harus direndahkan dan dibuat merasa bodoh dan bersikap tunduk, karena kalau tidak, mereka akan bergerak untuk memberontak. Maka penghancuran kebanggaan pribumi dipandang sebagai kebutuhan, karenanya dilakukan pencemaran watak pribumi.”
Rasisme ini yang seringkali melekat ketika rezim kekuasaan hadir di tengah warga masyarakat dengan menindas. Meskipun, rasisme ini telah ditentang di seluruh dunia, termasuk agama telah menentangnya. Dalam buku melawan Rasisme dan Stigma di Tanah Papua (Yoman, 2020:19), penulis menegaskan rasisme itu sebuah kejahatan kemanusiaan yang harus dilawan. “Rasisme ialah musuh orang Muslim, musuh orang Hindu, musuh orang Budha, musuh orang Konghucu, musuh kaum atheis, dan musuh orang Kristen. Rasisme ialah musuh kita bersama sebagai manusia. Mari kita sama-sama lawan dan memberantas rasisme.”
Penelitian dan Pemerhati Hak Asasi Manusia Papua, Theo van den Broek dalam sebuah seminar dan diskusi yang diselenggarakan oleh Dewan Gereja Papua (WPCC) pada 3 Februari 2022 mengungkapkan bahwa insiden rasisme yang terjadi di asrama mahasiswa di Surabaya telah menyebapkan masyarakat Papua sangat terhina, dan hal ini menyatakan realitas rasisme itu masih ada di Indonesia. Karena terhina, masyarakat Papua melakukan aksi protes.
“Mereka protes dengan penuh hati karena diremehkan seakan-akan mereka bukan manusia. Protes ini dijawab oleh pemerintah pusat dengan suatu pola tindakan keamanan, yang sebenarnya tidak menfokus pada rasisme melainkan bertujuan utama untuk mendiamkan para pejuang haknya yang secara vocal menghadapi pemerintah Indonesia,” ungkap Theo.
Dalam analisis Theo yang membeberkan protes rasisme yang terjadi pada 2019 itu tidak direspons dengan wajar. Protes masyarakat Papua atas rasisme direspons oleh pemerintah pusat yang melibatkan Menkopolhukam Wiranto – sekarang Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) dan Kapolri Tito Karnavian – kini Menteri Dalam Negeri di era Presiden Joko Widodo.
“Masalah rasisme tidak dianalisa dan tidak dijadikan suatu dasar respons yang sewajarnya. Keinginan menguasai secara politik sampai dalam kehidupan sehari-hari orang Papua lebih diutamakan daripada membereskan suatu penyakit ‘saling merendahkan’ serta ‘penyangkalan martabat setiap manusia’ (rasisme),” ungkap Theo.
Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP); dan Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC); Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC); dan Anggota Baptist World Alliance (BWA).
Komentar