MENGGUGAT PELAKSANAAN PEPERA DI SIDANG UMUM PBB
Oleh Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman
Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di Papua mendapatkan sorotan tajam dalam laporan Sidang Umum PBB. Kritik mengalir deras saat utusan PBB Dr. Fernando Ortiz Sanz, yang mengawasi Pepera saat itu, melaporkan pelaksanaan Pepera diungkapkan adanya manipulasi dan intimidasi dari militer Indonesia. “Saya harus menyatakan pada permulaan laporan ini, ketika saya tiba di Irian Barat pada Agustus 1968, saya diperhadapkan dengan masalah-masalah yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian New York Pasal XVI. Lebih dulu ahli-ahli PBB yang ada tinggal di Irian Barat pada saat peralihan tanggung jawab administrasi secara penuh kepada Indonesia ditiadakan, mereka tidak mengenal keadaan secara baik, mempersingkat tugas-tugas mereka,” kata Ortiz Sanz.
“Akibatnya, fungsi-fungsi dasar mereka untuk menasihati dan membantu dalam persiapan untuk mengadakan ketentuan-ketentuan Penentuan Nasib Sendiri tidak didukung selama masa 1 Mei 1963-23 Agustus 1968. Atas kehadiran saya di Irian Barat, untuk tujuan misi saya, saya telah memulai dengan mengumpulkan, mencoba untuk memenuhi dalam beberapa bulan denga staf yang terbatas tidak seimbang dengan wilayah yang luas, fungsi-fungsi penting dan kompleks dibawah Perjanjian New York Pasal XVI hendaknya dilaksanakan salama 5 (lima) tahun dengan sejumlah ahli.” (UN Doc. Annex I A/7723, paragraph 23, p.4).
“Saya dengan menyesal harus menyatakan pengamatan-pengamatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul penduduk asli. Dalam melakukan usaha-usaha yang tetap, syarat-syarat yang penting ini tidak sepenuhnya dilaksanakan dan pelaksanaan administrasi dalam setiap kesempatan diadakan pengawasan politik yang ketat terhadap penduduk pribumi.” (Laporan Resmi Hasil Pepera 1969 Dalam Sidang Umum PBB, Paragraph 164, 260).
Dr. Fernando Ortiz Sanz dalam laporan resminya dalam Sidang Umum PBB tahun 1969 menyatakan, “mayoritas orang Papua menunjukan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka.” (UN Doc. Annex I A/7723, paragraph 243, p.47)
Hasil Pepera 1969 itu telah menuai hujan kritik dan protes yang keras dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1969 oleh anggota resmi PBB. Mereka (anggota PBB) mempersoalkan pelaksanaan Pepera yang dianggap penuh dengan kebohongan dan kejahatan kemanusiaan yang melanggara hukum internasional. Karena hasil Pepera 1969 itu dianggap melanggar hukum internasional, maka Sidang Umum PBB hanya mencatat “take note”. Istilah ini tidak sama dengan disahkan. Hanya dicatat karena masih ada masalah yang serius dalam pelaksanaan Pepera 1969 di Papua Barat.
Hasil Pepera 1969 tidak disahkan tapi hanya dicatat “take note” karena perlawanan sengit dari beberapa negara anggota PBB yang dimotori oleh pemerintah Ghana. Dalam arsip resmi di Kantor PBB di New York, Amerika Serikat, melaporkan bahwa “…156 dari 179 pernyataan masih tersimpan, sesuai dengan yang diterima sampai tanggal 30 April 1969, dari pernyataan-pernyataan ini, 95 pernyataan anti Indonesia, 59 pernyataan pro Indonesia, dan 2 pernyataan adalah netral.” (Dok. PBB di New York: Six lists of summaries of political communications from unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969: UN Series 100, Box 1, File 5)
Para pembaca perlu ketahui bahwa ada 15 negara dari kawasan Afrika dan Karibia pernah melawan dan menolak hasil Pepera 1969 yang tidak adil dan yang dimenangkan oleh ABRI itu. Berikut dua negara, dari negara-negara yang menentang hasil Pepera.
Duta Besar Perwakilan tetap Pemerintah Ghana di PBB. Mr. Akwei melawan dan menolak dengan tegas hasil Pepera 1969 yang palsu dan cacat hukum.
“…yang dilaporkan Sekretaris Jenderal PBB bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing, dimana Menteri Dalam Negeri naik mimbar dan benar-benar kampanye. Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia, dia meminta anggota-anggota dewan musyawarah untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak mereka satu ideology, Pancaslia, satu bendera, satu pemerintah, satu negara dari Sabang sampai Merauke.” (UN Doc. Annex I A/7723, paragraph 195)
Sementara delegasi Pemerintah Gabon, Mr. Davin dalam perlawanan dan penolakannya dengan tegas mengatakan ketidakjujuran dan penipuan pemerintah Indonesia terhadap rakyat dan bangsa Papua dalam pelaksanaan Pepera 1969 di West Papua sebagai berikut:
“Setelah kami mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan hal-hal aneh dan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami untuk menyatakan pendapat kami tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibingungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya. Berkenaan dengan metode-metode dan prosedur-prosedur ini, juka utusan saya berpikir perlunya untuk menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti menarik perhatian peserta siding untuk memastikan aspek-aspek yang ada, untum menyatakan setidak-tidaknya kebingungan yang luar biasa. Kami harus menanyakan hal-hal yang mengejutkan kami dan meminta penjelasan tentang sejumlah bukti-bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan Sekretaris Jenderal PBB.”
Banyak suara kritis dan tajam mempertanyakan pelaksanaan dan hasil Pepera 1969 di Papua saat itu, antara lain:
Pertama, mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat dan dipilih oleh pemerintah dan tidak dipilih oleh rakyat?
Kedua, mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam pemilihan hanya 20% wakil, beberapa dari mereka bertugas hanya sebentar?
Ketiga, mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh gubernur; dengan kata lain, oleh perwakilan pemerintah?
Keempat, mengapa hanya organisasi pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon?
Kelima, mengapa prinsip “one man one vote” yang direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris Jenderal PBB tidak dilaksanakan?
Keenam, mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?
Ketujuh, mengapa para menteri dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil (anggota Pepera) di depan umum dengan menyampaikan bahwa hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal dengan Indonesia?
Kedelapan, mengapa hak-hak pengakuan dalam Padal XXII (22) Perjanjian New York 15 Agustus 1962, yang berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat, berserikat, dan berkumpul tidak diberlakukan kepada semua penduduk orang asli Papua (OAP)? (United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN General Assembly, Agenda item 108, 20 November 1969, paragraph 11, p.42)
Sejarawan dan peneliti Pepera di Papua, J.P Drooglever yang dalam laporan berjudul ‘Act of Free’, dalam bahasa Indonesia dialihbahasakan menjadi ‘Tindakan Pilihan Bebas’, mengungkapkan protes negara-negara Afrika terhadap proses, pelaksanaan, dan hasil Pepera sebagai bagian sikap simpati yang dilakukannya sejak tahun 1961 terhadap persoalan nasib bangsa Papua (Drooglever, hal.784).
Dalam buku itu, Drooglever memberikan bukti adanya keterlibatan militer Indonesia dalam memenangkan Pepera pada tahun 1969. Sejak kedatangan Ortiz Sanz pada Agustus 1968, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai persiapan untuk memperkuat jangkauan (pengaruh) terhadap wilayah itu. Tugas ini dipercayakan kepada pimpinan militer saat itu, Sarwo Edhie Wibowo, orang kepercayaan Soeharto. Menurut kata-katanya sendiri, ia pada waktu itu memiliki tidak lebih dari 6.000 orang pasukan. Dalam bulan-bulan pertama tahun 1969, kekuatan itu menurut Menteri Dalam Negeri Amir Machmud ditingkatkan menjadi 10.000 orang, sementara kekuatan ini pada waktu kegiatan Pemilihan Bebas (Pepera) menurut pemberitaan Malik sudah ditingkatkan menjadi 16.000 orang. Itu sudah sangat cukup untuk mengendalikan kekacauan yang mungkin (2010:711).
Piter Siran dan saksi sejarah yang dikirim oleh pemerintah Indonesia untuk memenangkan Pepera 1969, pada awal Desember 2009, setelah membaca buku penulis berjudul “Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat (2007), memberikan kesaksian (Yoman, Integrasi Belum Selesai: 2010, hal.91-91):
Pak Yoman, saya tiba di Jayapura, 1 Desember 1964. Saya menyaksikan ABRI menembak mati Elly Uyok di Bioskop Rex (sekarang Kantor Pos Jayapura). Saya ikut angkat mayat itu dan darahnya tampias ke baju saya.
Kami orang Indonesia benar-benar menipu orang Papua yang mau berkata benar waktu itu. Kami benar-benar menipu orang Papua. Kami benar-benar menindas orang Papua. Kami benar-benar merugikan masa depan orang Papua. Kami benar-benar tidak menghargai hati nurani orang Papua untuk benar-benar mau merdeka.
Kami mengetahui bahwa pada waktu pelaksanaan Pepera 1969 itu, orang-orang Papua benar-benar mau merdeka. Saya mengetahui bahwa 100% orang Papua mau merdeka. Impian dan harapan mereka, benar-benar kami hancurkan.
Kami diperintahkan ABRI untuk mencabut tulisan “one man one vote” jalan yang akan dilewati Ortiz Sanz, orang utusan PBB dan kami ganti dengan menanam tiang-tiang dengan bendera merah putih.
Pada waktu itu, saya mendapat hadiah uang sebesar Rp. 7.000.000 (tujuh juta) dari pemerintah Indonesia karena saya dianggap berhasil menipu orang Papua dan memenangkan Pepera 1969. Karena itu, sekarang saya sangat mendukung perjuangan orang Papua untuk merdeka.
Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP); Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC); Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC); dan Anggota Baptist World Alliance (BWA).
Komentar