Kopitu: Kasus Mama Banjar Cermin Kegagalan Sistemik Kementerian UMKM

Harmoninews.com (Jakarta) – Ketua Umum Komite Pengusaha Mikro Kecil Menengah Indonesia Bersatu (Kopitu), Yoyok Pitoyo menilai kasus hukum yang menimpa pelaku UMKM “Mama Khas Banjar” merupakan cermin dari kegagalan sistemik Kementerian UMKM dalam menjalankan tugas utama.

“Sudah lebih dari enam bulan sejak dilantik, namun belum ada arah kebijakan yang nyata bagi UMKM. Kasus Mama Banjar ini adalah puncak gunung es dari pembiaran yang sistemik. Menteri harus berani bertanggung jawab dan kalau perlu, mundur,” ujar Yoyok kepada wartawan, Minggu (18/5/2025).

Dia mengaku prihatin atas kasus itu. Menteri UMKM harusnya bertanggung jawab penuh atas kegagalan ini dan segera mengundurkan diri.

Kementerian UMKM gagal dalam menjalankan tugas utama yakni, membina, mendampingi, dan melindungi pelaku UMKM di Indonesia.

Kasus ini bermula pada 6 Desember 2024, ketika seorang konsumen melaporkan “Toko Mama Khas Banjar” karena produk makanan kemasannya tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa.

Berdasarkan laporan, pihak Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Kalimantan Selatan segera turun tangan. Hasilnya, ditemukan 35 produk makanan ringan tanpa informasi tanggal kedaluwarsa, yang kemudian disita sebagai barang bukti.

Pada 9 Desember 2024, toko “Mama Khas Banjar” digerebek dan dilakukan penyegelan sejumlah produk. Pemilik toko, Firli Norachim, yang juga pelaku UMKM, ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap melanggar aturan perlindungan konsumen.

Dampaknya sangat berat bagi Firli, usahanya ditutup permanen per 1 Mei 2025, padahal ia sudah berjualan sejak 2012 dengan reputasi baik di masyarakat.

Yoyok menegaskan Firli adalah potret nyata dari pelaku UMKM yang tidak mendapatkan pendampingan regulasi. “Bukannya dibina, justru dikriminalisasi. Negara absen total dalam kasus ini,” kata Yoyok, seraya mengecam.

Kritik tajam Yoyok diarahkan kepada Kementerian UMKM yang dinilainya lebih banyak sibuk dengan program pencitraan dan jargon kreatif, ketimbang membuat program konkret dan bersifat pendampingan lapangan.

“Sudah 100 hari pertama hingga enam bulan lebih masa kerja, belum ada program yang betul-betul menyentuh akar persoalan UMKM. Kebanyakan program hanya indah di atas kertas, tapi tidak berdampak langsung. Ini kementerian atau tempat magang?” ujar Yoyok, mengkritik.

Dia mengatakan seharusnya kementerian aktif mendampingi UMKM dalam hal standar produksi, pencantuman label, izin edar, serta edukasi hukum dan sertifikasi. Bukannya membiarkan pelaku UMKM belajar sendiri dengan risiko dikriminalisasi.

Yoyok juga menyoroti lemahnya perlindungan terhadap UMKM dalam Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang diklaim sebagai regulasi reformasi ekonomi.

Dia juga menilai UU tersebut lebih berpihak pada investor dan korporasi besar, ketimbang pelaku usaha mikro.

“Omnibus Law ini tidak menyertakan perlindungan hukum khusus bagi UMKM. Padahal, mereka paling rentan terhadap aturan teknis. Tidak ada jaring pengaman hukum jika mereka terjebak kasus administratif seperti ini,” jelasnya.

Yoyok berharap pemerintah dan DPR merevisi bagian-bagian dalam UU Cipta Kerja agar memasukkan mekanisme perlindungan preventif dan edukatif terhadap pelaku UMKM, bukan sekadar represif dan administratif.

Dikatakan, Menteri UMKM saat ini belum menunjukkan kompetensi sebagai pemimpin yang memahami realitas lapangan.

Kementerian terlihat lebih sibuk mengemas narasi pencitraan melalui kunjungan seremonial dan media sosial, ketimbang merancang sistem pendampingan yang konkret.

“Kalau tidak tahu cara kerja di lapangan, jangan jadi menteri. Jangan merasa sedang magang sambil belajar. Negara tidak butuh pemimpin percobaan,” kata Yoyok, geram.

Dia menyayangkan kedatangan menteri ke lokasi UMKM pasca kasus Mama Banjar hanya menjadi bentuk pencitraan, bukan bagian dari solusi sistemik.

Kopitu menyarankan beberapa langkah konkret yang harus segera dilakukan pemerintah, antara lain:

1. Pendampingan wajib regulatif.
UMKM harus mendapat pendampingan dalam memahami aturan seperti BPOM, label kedaluwarsa, dan izin edar produk.

2. Tim edukasi keliling daerah: Kementerian UMKM perlu membentuk tim edukasi keliling kabupaten/kota, bukan hanya mengandalkan pelatihan online.

3. Audit efektivitas program kementerian

Evaluasi total terhadap program-program kementerian yang tidak berdampak nyata.

4. Transparansi dana UMKM

Pastikan seluruh alokasi anggaran digunakan untuk kegiatan riil dan mendampingi UMKM, bukan untuk workshop seremonial

5. Pemutakhiran regulasi perlindungan UMKM

Pemerintah harus memasukkan klausul perlindungan dan bimbingan preventif dalam revisi UU Cipta Kerja.

“UMKM bukan cuma butuh motivasi. Mereka butuh pendampingan, perlindungan hukum, dan pembinaan. Kalau ini tidak dijalankan, maka wajar kalau rakyat menuntut menterinya mundur,” kata Yoyok.

Dia mengatakan kasus Mama Banjar membuka mata publik bahwa pelaku UMKM bisa sewaktu-waktu menjadi korban kriminalisasi jika tidak ada pendampingan dari negara.

Negara wajib hadir melalui kementerian dan kebijakan yang berpihak, bukan hanya melalui kamera dan konten media sosial.

Yoyok menutup pernyataannya dengan mengajak masyarakat dan pelaku UMKM untuk bersatu menuntut reformasi nyata di tubuh kementerian terkait.

“Hari ini Mama Banjar, besok siapa? UMKM tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri. Jika pemerintah tidak mau berubah, biarlah publik yang mengubahnya,” ucap dia, menutup.

M.NUR

Tuliskan Komentar

Komentar