Kekerasan Politik Kekuasaan

Kekerasan Politik Kekuasaan
Oleh: Rafifrian Evandio (Mahasiswa Program Magister Ilmu Politik UI )

Dalam sebuah surat terbuka yang dilayangkan oleh salah satu akademisi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang juga merupakan salah seorang deklarator dari Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Chusnul Mar’iyah Ph.D yang menyuarakan keprihatiannya terhadap berbagai dinamika dan peristiwa yang terjadi di Indonesia selama beberapa waktu belakangan ini, terlebih sejak berada di bawah kepemimpinan Jokowi. Keprihatinan itu diantaranya terjadinya penghilangan nyawa terhadap sejumlah putra-putri bangsa baik yang salah satunya dapat dilihat dalam tragedi di kilometer 50 tol Cikampek yang menewaskan enam orang laskar FPI hingga aksi-aksi demonstrasi yang memakan korban, seperti yang tercermin dalam aksi demonstrasi penolakan terhadap revisi UU KPK dan UU KUHP, RUU HIP/PIP, hingga UU Omnibus Law Cipta Kerja, kriminalisasi terhadap para ulama dan berbagai elemen masyarakat yang sejatinya memiliki perbedaan pandangan dengan pemerintah, kesemrawutan manajemen pemerintahan hingga berdampak pada kemunculan sejumlah persoalan lain, seperti meningkatnya kemiskinan, pengangguran, kerawanan sosial serta praktik KKN yang semakin membudaya serta adanya inkonsistensi dalam menerapkan sejumlah kebijakan, seperti dalam hal kenaikan iuran BPJS.

Chusnul Mar’iyah dalam kesempatan tersebut kemudian berusaha mengingatkan kembali kepada para elit pemimpin bangsa yang saat ini tengah berkuasa agar dapat melakukan koreksi terhadap tata kelola pemerintahan, sehingga dapat lebih mencerminkan nilai dan prinsip yang telah diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Bahkan, melalui surat terbukanya tersebut Chusnul Mar’iyah juga menyampaikan bahwa situasi yang tengah berlaku di Indonesia saat ini justru tidaklah sedang baik-baik saja, akibat semakin defisitnya iklim demokrasi yang berkembang di masyarakat hingga ketidaksungguhan elit-elit politik dalam menjalankan fungsi dan peranannya karena dianggap memiliki kelemahan dari segi kepemimpinan dan perencanaan kebijakan (lack of leadership and planning/policy).

Selain itu, pandangan-pandangan lain yang juga berbicara mengenai hal serupa dapat dilihat yang disampaikan oleh Prof. Greg Fealy yang merupakan seorang akademisi dan sekaligus guru besar di Australian National University (ANU) bahwa kepemimpinan Jokowi cenderung tak ramah dengan adanya keberagaman di Indonesia.

Hal itu setidaknya didasarkan oleh sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim pemerintahan Jokowi yang kemudian dipandang represif terhadap kalangan Islam khususnya tatkala pemerintah Indonesia semakin gencar dalam memerangi kelompok-kelompok Islam yang dianggap radikal, seperti FPI maupun HTI. Hal ini yang secara garis besar sejatinya tidak dapat dipisahkan dari konstelasi politik yang berkembang pasca penyelenggaraan pilkada DKI Jakarta 2017 dan pemilu serentak 2019.

Pasalnya, melalui kedua momentum politik tersebut kemudian terlihat dengan jelas bahwa terdapat suatu keengganan dari sejumlah kelompok Islam untuk memberikan dukungannya kepada Jokowi, sekalipun dirinya telah menggandeng Ma’ruf Amin yang merupakan representasi dari umat Islam sebagai calon wakil presiden serta membiarkan proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tetap berjalan. Apalagi, hal tersebut makin diperparah dengan kekalahan Jokowi di wilayah-wilayah yang terkenal memiliki fanatisme dan sentimen Islam yang besar pada pilpres 2019, seperti Aceh, Sumatra Barat, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, hingga Sulawesi Selatan. Terlebih, realitas yang berlaku hingga kini kemudian masih menunjukkan adanya diskursus yang menempatkan rezim pemerintahan Jokowi dengan kelompok-kelompok Islam ke dalam sebuah pertentangan atau antagonisme yang tajam. Salah satunya kemudian dapat dilihat dari masih maraknya penggunaan dikotomi “cebong” dan “kampret” di kalangan masyarakat, sehingga membuat stigma anti Islam dan islamophobia yang disematkan kepada rezim pemerintahan Jokowi masih melekat kuat hingga kini.

Di samping itu, perspektif lainnya yang juga tak kalah mengundang kontroversi kemudian dapat dilihat melalui sebuah karya dari Ben Bland, yang merupakan salah seorang peneliti Lowy Institute yang dalam hal ini merupakan sebuah lembaga think thank yang bermarkas di Sydney. Karya fenomenal tersebut berjudul “Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia”. Dalam karyanya tersebut, Bland kemudian menganggap bahwa rezim pemerintahan Jokowi tengah diwarnai oleh berbagai kontradiksi dari sejumlah kebijakan yang diterapkan dari mulai yang berkaitan dengan rencana pemindahan ibukota negara hingga manajemen penanganan terhadap pandemi Covid-19. Bahkan, Bland juga tak segan memandang sosok Jokowi hanya sebagai seorang “walikota” yang tinggal di Istana Presiden karena merujuk pada berbagai sikap dan kebijakan yang ditonjolkan olehnya selama memerintah sebagai presiden. Alhasil, hal-hal tersebut yang mungkin membuat Bland beranggapan bahwa Jokowi telah terbelenggu dengan posisinya, sehingga menjadikan dirinya relatif sulit untuk menepati berbagai janji kampanye yang telah disampaikan sejak pilpres 2014 maupun pilpres 2019.

Klimaks dari semua itu akhirnya turut ditandai dengan adanya keputusan bersama yang dikeluarkan oleh sejumlah kementerian, TNI dan POLRI mengenai penetapan FPI sebagai ormas terlarang secara sepihak. Akibatnya, hal tersebut kemudian semakin membuat kesan islamophobia dan wajah otoritarian rezim pemerintahan Jokowi menjadi kian sulit untuk dibendung. Adapun untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah khususnya presiden Jokowi setidaknya perlu untuk menyampaikan klarifikasi dan penjelasan yang menyeluruh kepada publik mengenai peristiwa-peristiwa tersebut. Tujuannya, agar pemerintah dapat menunjukkan bahwa negara tidak terkesan melakukan pembiaran terhadap diskursus dan sentimen yang berkembang di kalangan publik, tetapi hadir dalam memberikan pertanggungjawaban dan terbuka kepada seluruh warga negaranya. Dengan demikian, hal tersebut dapat dijadikan sebagai suatu pembuktian dalam menjawab berbagai tudingan yang dialamatkan kepada pemerintah khususnya di tengah konteks upaya dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan akuntabel.

Tuliskan Komentar