Kesejahteraan Bukan Akar Konflik

Kesejahteraan Bukan Akar Konflik

Oleh : Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman

Bertahun-tahun kita belajar bahwa akar konflik panjang di kawasan Asia Pasifik, seperti di Papua, bukanlah kesejahteraan. Rakyat dan bangsa Indonesia mesti memahami kebenaran sejarah konflik di Tanah Papua karena terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan tragedi kemanusiaan sejak pendudukan Indonesia atas Papua pada 1963. Saya percaya, saudara-saudari bangsa Indonesia mempunyai telinga, mata, dan hati nurani, serta kemampuan mendengarkan dan melihat tentang penderitaan rakyat dan bangsa Papua yang berlangsung hingga sekarang.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kini berubah menjadi BRIN telah menemukan empat akar konflik antara Papua-Indonesia, yang dituangkan dalam buku “Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present, and Securing the Future” yang terbit pada 2010 yaitu: (1) sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia; (2) kekerasan negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian; (3) diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri; (4) kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

Masalah kesejahteraan yang selama ini didengung-dengungkan dan dianggap sebagai akar konflik terjadi di Tanah Papua, sesungguhnya tidaklah benar, bahkan menyamarkan akar-akar konflik yang telah disebutkan diatas dengan dukungan riset mendalam dan kuat. Sudah bertahun-tahun, sejak persoalan sejarah Papua, Pepera 1969 yang didekati dengan pembangunan (infrastruktur) tak dapat memberikan solusi penyelesaian konflik di Papua.

Jika, salah satu akar persoalan konflik Papua adalah adanya ketidakbenaran dan sengketa sejarah, maka bagian ini juga semestinya disentuh dan mendapatkan perhatian. Sejarah Papua yang selama ini tertutupi kini telah terungkap fakta-faktanya. Salah satunya, janji-janji penguasa terhadap rakyat Papua saat itu, yang sesungguhnya sebagai tipu daya.

Hal itu seperti diungkapkan oleh Menteri Dalam Negeri, Jenderal TNI Amir Machmud dihadapan Dewan Musyawarah Pepera (DMP), yang mengungkapkan bahwa Pemerintah Indonesia berkeinginan dan mampu melindungi untuk kesejahteraan rakyat Irian Barat. Alasan inilah kemudian diklaim bahwa rakyat Irian Barat untuk tetap tinggal dengan Republik Indonesia (United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN Assembly, agenda item 98, 19 November 1969, paragraph 18, p.2).

Janji ini sangat bertolak belakang. Pemerintah Republik Indonesia yang menyatakan berkeinginan dan mampu melindungi kesejahteraan rakyat Irian Barat – kini Papua, pada kenyataannya tak mampu melindungi warga dan masyarakat Papua, justru mengerahkan aparat militer untuk melakukan pengejaran, penangkapan, penculikan, hingga penyiksaan terhadap rakyat Papua. Tak sedikit jumlahnya rakyat Papua dibui, dibunuh, diusir dengan cara-cara brutal dan kejam. Rakyat Papua mengalami penderitaan panjang dan merasakan hidup dalam kejahatan kemanusiaan.

 

Sekali lagi, dalam situasi ini, saya tetap menaruh keyakinan terhadap saudara-saudara dan mata hati bangsa dan rakyat Indonesia yang dengan jernih melihat kebenaran untuk rakyat Papua.

Gubernur Papua Lukas Enembe (alm.) di Tolikara pada 8 Februari 2022 pernah mengungkapkan kerisauannya atas pengalaman hidup rakyat Papua. Berikut petikannya:

“Kehidupan tanmpa kebahagiaan, tidak ada. Orang Papua tidak happy. Seluruh Papua, di muka Tidak hidup aman. Kami lahir bukan untuk itu. Kami hidup, mau hidup lebih bagus, berbahagia. Kami bumi ini yang tidak happy itu orang Papua. Kamu catat itu. Orang tidak hidup dalam kebahagiaan. Intan Jaya menangis, Puncak menangis, Nduga menangis, Pegunungan Bintang menangis, Raja Ampat menangis, eh..apa, Maybart, orang menangis. Orang tidak hidup aman di negeri kita sendiri. hidup lebih menikmati kebahagiaan. Itu utama, orang Papua harus bahagia. Itu utama. Waa…”

Pernyataan Lukas Enembe, Gubernur Papua, mencerminkan bahwa janji-janji pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan Orang Asli Papua (OAP) itu tidak pernah terwujud. Karena itu, menurut penulis, keadilan rakyat Papua itu harus diperjuangkan tanmpa kompromi. Keadilan tidak pernah diberikan kaum kolonial.

Para penguasa kolonial selalu gelisah dan merasa terganggu pada saat kaum tertindas sadar dan bersatu dan dengan gigih memperjuangkan keadilan dan martabat kemanusiaan. Kaum terabaikan dan tertindas tahu, sadar dan mengerti bahwa keadilan adalah syarat mutlak perdamaian dan kesetaraan.

Dari waktu ke waktu, generasi ke generasi, semua orang Papua selalu belajar, bahwa rakyat Papua sebagai bangsa Melanesia pernah hidup di jalan kebenaran, sebagai orang beriman seperti digambarkan dalam sosok Nabi Nuh dan Raja Daud yang selalu menyatakan dan menyuarakan kebenaran, keadilan, kasih, perdamaian, dan martabat kemanusiaan OAP.

 

Kata ‘kesejahteraan’ adalah bahasa using dan topeng kekejaman penguasa kolonial modern Indonesia untuk menyembunyikan akar konflik Papua yang sesungguhnya. Usang artinya kuno, lapuk, ketinggalan zaman, tidak terpakai.

Kata ‘kesejahteraan’ bukan pernyataan baru. Kata itu sudah disampaikan pada 14 Juli 1969 di Merauke pada saat Pepera 1969 dimulai. Menteri Dalam Negeri saat itu, Jenderal TNI Amir Machmud menyampaikan pidato kepada 175 orang yang dipilih dan ditunjuk oleh ABRI, Dewan Musyawarah Pepera 1969 sebagai berikut:

“…Pemerintah Indonesia berkeinginan dan mampu melindungi kesejahteraan rakyat Irian Barat dan tinggal dengan Indonesia satu ideologi, Pancasila, satu bendera, satu pemerintah, satu negara dari Sabang sampai Merauke…”

“…Indonesia mampu melindungi untuk kesejahteraan rakyat Irian Barat…”

(United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN Assembly, agenda item 98, 19 November 1969, paragraph 28, p.42).

Pernyataan sangat paradoks dan kontradiktif. Pada kenyataan dilapangan terlihat bahwa wajah dan perilaku pemerintah Indonesia seperti ‘iblis’ yang membangun kekuasaan dan pemerintahan tidak mengenal kemanusiaan. Tanah-tanah milik OAP dirampok atas nama pembangunan dan hutan-hutan dihancurkan untuk perusahaan-perusahaan nasional dan multi nasional yang dibeking oleh TNI/Polri dengan alasan aset vital negara.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo pernah mengatakan bahwa “Isu soal pemekaran wilayah yang telah menjadi amanat Undang-Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus tujuannya adalah untuk lebih fokus menyejahterakan rakyat Papua, karena Papua merupakan bagian tak terpisahkan dari Indonesia dan Indonesia bukan Indonesia tanpa Papua.” (Detik.com 11 September 2020).

Paradoks dan omong kosong pemekaran yang fokus pada kesejahteraan rakyat Papua dari beberapa decade berjalan, program pemekaran provinsi dan kabupaten itu lebih tampak suatu ‘operasi’ memarjinalkan rakyat Papua. Atas nama pembangunan menyingkirkan kepentingan rakyat Papua melalui ‘operasi’ transmigrasi dan rasisem secara terstruktur, terlembaga, masif, dan kolektif.

Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP); dan Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).

Tuliskan Komentar

Komentar