Suara Hati untuk Prabowo
Oleh: Dr. Socratez Yoman
Kekerasan terhadap kemanusiaan ini tidak berdiri sendiri dan tidak hanya terbatas dalam konteks Indonesia. Ada keterlibatan dan konspirasi internasional yang mengorbankan Nasib dan masa depan rakyat dan bangsa Papua Barat yaitu Amerika Serikat, Belanda, Indonesia, dan PBB ketikan menjalankan proses perjanjian internasional dengan melahirkan New York Agreement pada 15 Agustus 1962. Oleh karena itu, dalam penyelesaian akar konflik Papua Barat yang kronis ini, perlu dan penting meminta suatu pertanggungjawaban moral, etik dan politik dari PBB, Amerika Serikat, dan Belanda.
Selanjutnya, persoalan ideologi Papua merdeka itu sudah berakar dan sulit digadaikan dengan pembangunan, uang, dan jabatan. Kita sangat berbeda secara ideologis, antropologis, sosiologis, etnis, dan letak geografis dan juga pemahaman proses sejarah. Ideologi Papua merdeka tidak dapat digadaikan atau diselesaikan dengan Otonomi Khusus, pemekaran provinsi, pemberian reward (penghargaan) pada orang-orang yang dianggap atau diangkat sebagai tokoh-tokoh (tokoh boneka), kunjungan Presiden dan Wakil Presiden berkali-kali dan pemberian uang dalam jumlah banyak, dan pembangunan yang semestinya sudah menjadi kewajiban negara.
Penguasa Indonesia bekerja dan berusaha keras dengan berbagai bentuk wajar dan tidak wajar: kejahatan-kejahatan dan kebohongan-kebohongan untuk mempertahankan Tanah Papua (Papua Barat). Tetapi, rakyat dan bangsa Papua dengan konsisten terus mendidik para penguasa dan seluruh rakyat Indonesia dan komunitas internasional dengan data dan fakta-fakta kebenaran dengan jalan yang benar, jujur, dan objektif untuk tujuan mulia, yaitu penghormatan hak dan martabat kemanusiaan kami sebagai sebuah bangsa merdeka dan berdaulat pada 1 Desember 1961 dan bukan sebagai “provinsi-provinsi boneka kolonial.”
Pembangunan, yang dalam pandangan penguasa Indonesia sebagai Upaya menyejahterakan rakyat Papua, pada kenyataannya oleh rakyat Papua bukanlah pembangunan manusia seutuhnya melainkan praktik kolonialisme modern yang dilakukan melalui kultur militer dan kekerasan. Ingat! UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001, direvisi jadi UU Nomor 2 Tahun 2021, tidak menjadi suatu rujukan bagi resolusi konflik melainkan resolusi pembangunan yang tidak menyelesaikan akar konflik Papua. Otsus merupakan upaya pemerintah untuk menghindari atau menyembunyikan akar konflik dan memperpanjang penderitaan rakyat dan bangsa Papua.
Kepemimpinan Prabowo Subianto ke depan harus mengambil langkah-langkah konkret, strategis, konstruktif, dialogis untuk mengakomodasi penyelesaian akar konflik Papua yang kronis dengan melibatkan pihak ketiga yang netral di tempat yang netral. Contoh kasus, pemerintah sudah menjadikan GAM sebagai mitra dialog di Helsinki pada 15 Agustus 2005. Pendekatan ini masih relevan karena persoalan konflik Papua sudah berdimensi internasional. Lebih dari 60 tahun lebih, rakyat dan bangsa Papua tinggal dan hidup di bawah pemerintahan Indonesia, namun ideologi dan nasionalisme rakyat dan bangsa Papua tetap hidup, bertumbuh, dan semakin kuat.
Prabowo yang saat ini menjalankan kekuasaan negara dan pemerintahan Indonesia, maka ialah yang menentukan arah penyelesaian konflik Papua yang terus berlangsung. Saya melihat kepemimpinan Prabowo dalam memandang dan menyikapi gagasan dan desakan penyelesaian konflik Papua.
Pertama, Prabowo Subianto adalah seorang pribadi yang berbudi luhur, berhati mulia, berkarakter jujur, tulus, dan tidak ada watak kemunafikan atau berpura-pura. Saya melihat dari sisi kebaikan Prabowo sebagai cahaya dan sekaligus jembatan kepercayaan untuk penyelesaian konflik Papua dengan pendekatan, perspektif, dan paradigma progresif, yang memberikan komitmennya yang kuat pada pendekatan baru yang non militer, dalam semangat kesetaraan dan penghormatan martabat kemanusiaan tanpa kita mengorbankan keyakinan ideologi dan kepercayaan iman kita masing-masing.
Kedua, Prabowo punya modal kuat dalam kepemimpinannnya membuat Keputusan dan kebijakan yang dilaksanakan dan diimplementasikan secara nyata. Maka Prabowo memberikan legacy (warisan) yang baik dalam mendorong kehadiran negara dan aparat keamanan lebih professional dan humanis dalam menyikapi dan merespons aspirasi dan suara-suara kritis yang menyuarakan keadilan, kesetaraan, penghormatan terhadap kemanusiaan, dan penegakan hak asasi manusia di wilayah Papua Barat (Papua).
Ketiga, Prabowo harus mempunyai pengetahuan informasi dan fakta-fakta dilapangan yang benar dan cukup untuk bisa memahami problem nyata, misalnya, persoalan kesejahteraan itu bukanlah menjadi akar konflik Papua Barat, tetapi akar konflik sesungguhnya ialah perbedaan ideologi antar bangsa Indonesia dan bangsa Papua Barat. Maka, pembangunan jalan, jembatan, perumahan, pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (ASN), penerimaan putra putri Papua menjadi anggota TNI/Kepolisian, Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001, merupakan suatu kewajiban dan tanggungjawab negara yang berlaku umum di seluruh Indonesia. Pendekatan pembangunan (resolusi pembangunan) tidak menyelesaikan konflik, maka Prabowo harus membuat terobosan melalui pendekatan “resolusi konflik” dengan cara melakukan dialog-dialog kepada para pihak yang menyuarakan aspirasi politik Papua.
Keempat, dialog-dialog dengan para pemimpin organisasi politik di Papua Barat itu bisa dilakukan dengan langkah konkrit yaitu Presiden Prabowo membentuk tim khusus dan utusan khusus yang tugasnya berfokus pada penyelesaian konflik Papua. Utusan khusus maupun tim khusus ini menjalankan dan melaporkan secara langsung kepada Presiden Prabowo.
Sehingga masalah konflik yang sudah menjadi benang kusut dan mengakibatkan spiral kekerasan kronis dan menahun seperti ini dibutuhkan saling percaya (mutual trust) dan mengakui dan menerima kebaikan serta kebenaran yang ada pada pihak yang berbeda ideologi. Untuk itu, para pihak harus memiliki pikiran dan hati yang jernih untuk melihat akar konflik Papua dengan benar, tepat, dan terukur.
Kita harus menjadi sehat untuk menolong orang sakit, karena orang sakit tidak pernah membantu orang sakit, tapi sebaliknya hanya orang sehat yang selalu menolong orang sakit yang memerlukan bantuan. Orang pendendam, sakit hati, pembenci, pembohong, dan munafik, tidak layak menjadi bagian dari proses penyelesaian konflik Papua. Kita membutuhkan orang-orang yang punya hati, pikiran, dan perasaan yang dipenuhi dengan cahaya kasih, kebenaran, dan pengampunan. Orang-orang demikian, yang mampu membuka jalan dan proses dialog dan negosiasi.
Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua; Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC); Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC); dan Anggota Baptist World Alliance (BWA)







Komentar